Usai
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Diintipnya dana di dompet tinggal sedikit. Untuk belanja masih kurang. Namun, sebagai pemulung ia berupaya sekuat tenaga tidak meminta-minta kepada siapa pun. Berupaya dan berpikir bagaimana membuat cukup setidaknya untuk keperluan harian. Terutama sebagai pembeli susu formula bagi bayinya harus disisihkan. Ia tahu itu kebutuhan prioritas utama. Bahan pangan biasa diganti murah meriah. Beras diganti singkong, dicarinya sayur rempesan gratis di pasar induk, juga telur retak atau kondisi apkir harga terjangkau. Terpaksa begitu! Janda, bukan! Bersuami, tidak! Satu balita harus ditanggung. Beberapa lama tak mengunjungi sang suami sebab kondisi keuangan.
Suami sedang berada di dalam. Menjadi orang suruhan membuatnya masuk sel karena sang bos pebisnis barang haram. Beruntung masa tahanan tinggal beberapa saat. Saat keluar dari bui, tentu suami tanpa sepeser pun uang di tangan. Berpikir keras bagaimana agar bisa beroleh uang secara instan. Menjadi tukang parkir? Oh, tidak mudah karena hampir semua lahan parkir dikuasai para preman. Mengemis? Masih punya malu.
Duduk termenung di bangku pos persimpangan kereta api dekat Lavallete, pikirannya menerawang. Dari Lembaga Pemasyarakatan terpaksa berjalan kaki tanpa biaya transportasi. Teringat si kecil. Mungkin sudah besar sekarang. Bagaimana menghidupi keluarga? Murung, pusing, tanpa sepeser pun. Didengarnya alarm pertanda kereta lewat, penutup lintasan turun. Kereta hendak melintas, tetapi berlarilah ia menyeberang. Ia ingin melupakan keluarga dan segudang dukanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H