Lihat ke Halaman Asli

Ninik Sirtufi Rahayu

Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Tak Semudah Mengatakan Cinta

Diperbarui: 12 September 2024   01:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Tak Semudah Mengatakan Cinta 

Oleh: Ninik Sirtupi Rahayu

Bahasa adalah sarana komunikasi yang sangat vital. Dengan bahasa kita dapat menyampaikan segala perasaan dan permasalahan. Dengan bahasa pula kita dapat belajar dan berkembang. Alangkah sepinya dunia tanpa bahasa, bagai seorang penyandang tunarungu atau tunawicara yang sedang bercinta! Tanpa bahasa kita tidak akan mampu meminta meski hanya sesisir pisang apalagi seuntai kalung mutiara kepada sang kekasih.

Bahasa telah membawa kita pada peradaban modern seperti sekarang. Sejak balita kita belajar segala sesuatu melalui paparan bahasa yang lazim disebut sebagai bahasa ibu. Bahasa ibu ini pada umumnya adalah bahasa daerah yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar atau oleh kedua orang tua kita. Kemudian, saat kita memasuki dunia pendidikan di sekolah dasar, kita mulai mengenal dan mempergunakan bahasa Indonesia. Pada akhirnya, kita bergaul dengan sesama, tersenyum, tertawa, dan bercanda pun dengan sarana bahasa, baik bahasa ibu maupun bahasa Indonesia.

Coba saja tidak ada bahasa Indonesia sebagai pemersatu, yang terjadi adalah pertengkaran, perkelahian antarsuku, dan bahkan mungkin juga perpecahan bangsa. Akan tetapi, bahasa yang kita manfaatkan sehari-hari dalam hidup dan kehidupan ini tidak pernah kita perhatikan secara serius. Tidak pernah tebersit dalam benak kita untuk memuja bahasa kita ini (baca: bahasa Indonesia) dengan memakai dan mempertahankannya secara sempurna. Yang penting asal paham. Titik.

Pada hakikatnya bahasa Indonesia telah mengalami perkembangan secara luar biasa. Kosa kata bahasa Indonesia telah berkembang sedemikian rupa sehingga hampir takterhitung jumlahnya. Penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing pun terjadi secara pesat dengan mengadopsi, mengadaptasi, menerjemahkan, dan bahkan membentuk kosakata baru dengan cara berkreasi.

Kosa kata yang mengalami adopsi banyak sekali. Sebagai contoh kata-kata dari bahasa asing film, modern, video, radio, magic jar, filter, AC, dan lain-lain. Adopsi dari bahasa daerah, misalnya amblas, ampuh, heboh, ketus, usik, ceroboh, genit, gunjing, dan lain-lain. Adaptasi terjadi pada kata-kata kelas, gelas, lampu, risiko, foto, fotokopi,  dan lain-lain. Terjemahan pun terjadi pada kata  fly over menjadi 'jalan layang', ranking menjadi 'peringkat', brain storming menjadi 'sumbang saran', dan lain-lain. Bahkan kata baby sitter yang tidak ada padanan dikreasikan menjadi 'pramusiwi'.

Pada lembaga pendidikan, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa resmi sekaligus bahasa pengantar. Mata pelajaran apa pun, kecuali bahasa daerah sebagai muatan lokal, disampaikan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Namun, secara realita pemanfaatan bahasa Indonesia, khususnya secara tertulis, di lembaga pendidikan tersebut masih sangat memprihatinkan.

Selain guru dan siswa, personalia pengguna bahasa Indonesia di lembaga pendidikan adalah staf tata usaha. Mereka bertugas menangani bidang administrasi seperti surat-menyurat, penulisan pengumuman, dan lain-lain. Sekalipun secara teknis administratif tugas yang mereka laksanakan cukup baik, ditinjau dari segi kebahasaan seringkali kurang memuaskan. Penulisan surat-menyurat dan berbagai pengumuman kurang memperhatikan kaidah penulisan, khususnya penerapan EYD, dan pemilihan diksi secara tepat.

Di sinilah permasalahan timbul. Sekolah sebagai lembaga pemerintahan resmi yang seharusnya menjadi teladan dalam pemanfaatan bahasa Indonesia, ternyata tidak dapat diandalkan. Pembelajaran bahasa Indonesia hanya dilakukan oleh guru (baca: guru bahasa Indonesia) di kelas. Personalia lain di sekolah seperti tenaga administratif tidak atau kurang memberikan pajanan pemakaian bahasa Indonesia, khususnya bahasa tulis, secara baik dan benar.

Pada dasarnya problema pembelajaran yang dihadapi guru bahasa Indonesia berasal dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari 'dalam' diri guru mata pelajaran bahasa Indonesia sendiri, misalnya faktor-faktor intelegensi, bakat, dan minat. Sementara,  faktor eksternal berasal dari 'luar' diri guru yang bersangkutan, misalnya lingkungan sosial, lingkungan kebahasaan di sekolah, sikap para guru non mata pelajaran bahasa Indonesia, dan sebagainya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline