Lihat ke Halaman Asli

Ninik Sirtufi Rahayu

menulis itu bikin kuat daya ingat

Deru Pesawat Udara

Diperbarui: 10 Juli 2024   17:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Deru  Pesawat Udara

Aku hanyalah seorang anak desa yang bercita-cita hidup di kota besar karena di desa sangat sepi saat itu. Jika malam hari di musim kemarau, hiburan yang ada hanyalah nyanyian jangkrik tiada henti, sementara di musim penghujan senandung katak mewarnai siang dan malam. Tidak ada lampu warna-warni karena kala itu listrik belum masuk di desa. Itulah sebabnya, ketika berkesempatan berada sejenak di kota melihat lampu aneka warna dan kembang api bertebaran di angkasa, kukatakan bahwa kelak aku hendak hidup di kota. Ternyata, sepuluhan tahun berikutnya aku benar-benar hengkang dari desa pergi ke kota untuk menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi negeri.

Sebenarnya, sekalipun dari segi daya intelegensi aku memenuhi syarat untuk mengikuti perkuliahan karena nilai akademiku selalu berada di peringkat pertama, secara dana sungguh sangat tidak layak. Aku kuliah dengan cara nebeng hidup pada keluarga ayah kandung yang kebetulan beralamat di dekat perguruan tinggi yang menerimaku sebagai salah seorang mahasiswi. Ya, hanya menyeberang jalan saja!

Jadilah aku ngenger. Tentu saja indekos gratis harus kubayar dengan tenaga. Aku menyumbangkan tenaga sebagai asisten pembantu rumah tangga yang kebetulan juga adik ayah kandungku yang ditampung keluarga. Keluarga tersebut suami istri perawat di salah sebuah rumah sakit besar di kota itu, pembantu rumah tangga yang dipekerjakan kakak dari keluarga tersebut. Jadi, tentulah aku membantu apa pun pekerjaan kerumahtanggaan. Mulai dari bebersih dan beberes rumah, menyapu, mengepel, rumah dan halaman hingga membantu memasak dan mencuci piring serta peralatan dapur lain. Aku tidur di kamar belakang, bukan rumah induk, tetapi seperti paviliun. Tepatnya, salah sebuah gudang dengan separuh berisi barang-barang entah apa aku tak paham.

Sebenarnya, kondisi untuk tinggal cukup nyaman. Namun, sayangnya keluarga itu menerima indekos seorang pasien kurang waras karena suami istri perawat di bagian kejiwaan. Pasien tersebut tinggal di kamar bersebelahan dengan gudang tempat istirahatku. Hampir setiap malam jika dia tidak bisa tidur, selalu saja menggedor-gedor pintu dan sangat berisik. Otomatis, istirahatku selalu tidak maksimal. Karena itu, ayah kandungku yang kebetulan juga tinggal di kota sama, memintaku tinggal bersama beliau.

Tinggal bersama ayah kandung dalam kondisi memprihatinkan, membuatku kurang nyaman. Ayah tinggal indekos pada sebuah rumah  yang dihuni beberapa keluarga. Hanya satu kamar besar dengan sebuah patung budha yang juga cukup besar. Ya, ayahku pemeluk agama Budha. Itulah sebabnya aroma yang tidak nyaman selalu kuhirup dan cukup membuatku pusing.

Di kamar sebelah ada keluarga Tante Latumena. Beliau mengambil dua kamar dengan keluarganya. Tante Latumena inilah yang sering mengajakku bercerita. Beliau selalu menasihati bahwa hidup itu tidak selalu berada di atas. Bila saat ini diizinkan di bawah, tentu kali lain diangkat-Nya ke tempat lebih nyaman. Mendengar cerita beliau, entah mengapa hatiku merasa damai dan bisa menerima keadaan serta kenyataan yang ada.

Ya, aku memang harus berjuang dan berjuang untuk meraih mimpi dan menggapai cita-cita. Karena jarak cukup jauh dari kampus dan aku sering memperoleh kuliah sore hari, ayah mengizinkanku untuk mencari tempat indekos mendekati kampus. Jadilah, hanya beberapa bulan saja aku ikut nebeng bersama ayah kandung. Bersama ayah, lumayan banyak kuperoleh cerita masa lalu yang menguatkan hatiku. Satu di antaranya adalah harus memperjuangkan keutuhan keluarga agar tidak berantakan baik dari segi ekonomi maupun dari segi lain-lain. Cukup ayah dan keluarga yang mengalami kegagalan, sementara akan kujadikan prinsip dalam hidup bahwa keutuhan rumah tangga merupakan prioritas utama tatkala kelak aku menjalaninya.

Oh, iya ... karena perolehan IPK semester pertamaku bagus, bisa mencapai 3, 61 aku langsung memperoleh Tunjangan Ikatan Dinas selama tiga tahun. Jadi, aku masuk Januari 1976, TID-ku keluar per April 1976. Dengan beasiswa inilah aku melaju menggapai cita-cita. 

***

Ketika hidup di desa, melihat dan mendengar deru pesawat udara melintas, entah mengapa kami anak-anak selalu meneriakkan, "Kapal .... minta duitnya!"
Geli rasanya bila mengingat hal itu. Padahal, tentu saja kapal udara yang tampak kecil itu tidak memiliki uang untuk diberikan kepada anak-anak desa macam kami. Entah, siapa pula yang mengajari kami berteriak semacam itu. Otomatis pula! Ahaha .... masa kecil yang begitu konyol, kan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline