Lihat ke Halaman Asli

Ninik Sirtufi Rahayu

Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Sebagaimana Kemasan

Diperbarui: 3 Juli 2024   10:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler


Sebagaimana Kemasan

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu



Sekitar setahun tidak bertemu ternyata yang terjadi sangat luar biasa.  Ada kudengar berita bahwa dia sakit, katanya gagal ginjal. Akan tetapi, karena kondisi ternyata aku tidak bisa mengunjungi. Keterlaluan, kan? Padahal, mantan istrinya sepupu suami. Namun, karena ada masalah keluarga, aku  yang memang tidak suka ikut campur merasa lebih baik diam dan menjauhkan diri saja.

Suatu saat kulihat sebuah status salah seorang teman di  facebook, saudara  perempuan  salah seorang ipar sepupu suamiku. Berita duka. Oleh karena itu, aku dan suami menyempatkan diri menghadiri ibadah tutup peti. Ibadah diselenggarakan di sebuah yayasan yang menangani perihal kematian.

Tatkala tiba saat pemberian penghormatan terakhir melihat jenazah di dalam peti sebelum penutupan, aku sangat kaget. Terhenyak. Almarhum adalah sosok yang tampan dan gagah di masa  mudanya. Namun, kondisi berbalik seratus delapan puluh derajat! Semua kegagahan dan ketampanan itu hilang sirna sehingga yang kulihat sangat jauh berbeda. Kaget sekaligus pangling. Bukan hanya dari segi wajah, melainkan dari keseluruhan tampilan raga. Tinggal kulit pembalut tulang!

"Oh, my God!" 
keluhku dalam hati sambil menahan tangis.

Bukan bermaksud menghina, bukan! Melainkan hendak berkaca dari sana. Justru aku mengambil pelajaran sangat berharga dari sana. Benar kata para orang tua kita! Kondisi tubuh yang semasa hidup luar biasa indah, bagus, kekar, gagah bisa saja dalam sekejap berubah drastis. Maka, apa yang bisa disombongkan manusia yang sebenarnya hanya setitik debu ini?

Sampai di sini, terasa tertampar muka ini, sementara hati pun lebih dari teriris sembilu.

"Ini lumayan masih ada jasad yang diwadahi peti!" bisik salah seorang teman yang duduk di sebelahku.

Aku mengangguk. Tetiba kuingat pula peristiwa tragis yang menimpa saudara jauhku. Lebih kurang tiga puluhan tahun silam. Saudara perempuanku itu sebulan yang akan datang hendak menikah. Persiapan di desa sudah dilaksanakan oleh kedua orang tua karena dia putra kedua, sekaligus putri pertama. Mantu pertama yang dipersiapkan sedemikian rupa. Namun, apa yang terjadi?

"Calon pengantin perempuan tersebut terbunuh. Korban mutilasi, jasadnya tidak ditemukan dan tak bisa ditunjukkan kepada keluarga. Almarhumah hanya meninggalkan nama sehingga membuat sang bunda mengalami depresi!" jelasku sambil menyeka air mata.

"Ya, Allah! Kasihan benar. Bukan hanya korban melainkan juga segenap keluarganya!" respons teman duduk di sebelahku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline