Lihat ke Halaman Asli

Ninik Sirtufi Rahayu

belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menanti Hujan

Diperbarui: 27 Juni 2024   10:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menanti Hujan

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu


Hari yang sangat cerah tetiba berubah. Mendung abu-abu yang berserak dengan cepat terbawa angin menjadi gumpalan hitam. Sinar matahari tak tampak lagi. Hal ini membuat satwa yang tadi hendak ke taman mengurungkan niatn.

Ada seekor kumbang yang siap-siap mengisap madu bunga. Akan tetapi, karena mendung, ia bersembunyi di balik rimbun daun yang cukup lebar untuk bernaung. Ada juga beberapa ekor semut yang sedang berbaris mencari makanan manis. Mereka berbelok ke arah liang di pohon besar agar terhindar dari hujan yang sebentar akan tiba.

Seekor katak hijau sedang melompat ke sana kemari sambil berteriak girang.

"Hai, Kawan ... marilah kemari! Sebentar lagi hujan akan tiba. Mari kita menari dan berdansa!" serunya sambil memutar-mutar badan dengan jenaka.

"Hai ... semut-semut imut! Ayo, sini ... bersamaku menari. Kita menjemput hujan yang sebentar datang!" ajaknya riang.

"Maaf, kami akan segera meliang ke sarang! Tidak baik berada di luar sarang. Cuaca tidak mendukung aktivitas kami. Maafkan kami, Kawan!" ujar salah seekor semut pekerja.

"Wuaaahh! Rugi amat! Hujan itu berkah, Kawan! Menari di bawah hujan itu luar biasa sensasinya!" serunya bangga.

"Maaf, duhai Katak yang baik! Kami tidak bersahabat dengan hujan! Lebih baik segera sembunyi. Kami pamit, ya!"

"Waah, waaahh .... kasihan sekali kalian, Kawan! Tak pernah menikmati rintik dan rinai!" pongahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline