Lihat ke Halaman Asli

Ninik Sirtufi Rahayu

mengisi usia senja dan bercanda dengan kata

First Love Never Dies

Diperbarui: 14 Juni 2024   06:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

FIRST LOVE NEVER DIES

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Dini hari dua puluh tujuh September 2020. Terbangun tengah malam tepat di hari ulang tahun pernikahanku. Tepat di tanggal kelahiran seseorang yang selanjutnya akan kusebut Mas Yustinus . Ya, flashback  dulu sejenak mumpung ingatan lagi beranjak ke sana.

Biasanya, setiap tahun aku mengingatnya dan beberapa tahun terakhir selalu kuucapkan selamat di WA-nya yang kumiliki meski setahun terakhir hanya dijawab dengan symbol like. Jempol saja! Tak apa. Setidaknya dia tahu aku masih mengingatnya. Tiba-tiba saja lima bulan lalu, tepatnya 13 April 2020,  kudengar kabar bahwa dia telah berpulang ke haribaan Allah karena menderita diabetis mellitus lumayan lama.  Tak urung,  air mataku mengucur deras apalagi karena aku takdapat melayatnya. Awal-awal badai Covid-19 sedang melanda negara kita. Lama tak kudengar beritanya, tiba-tiba sudah tiada!

Adat Jawa jika memilih pasangan hidup selalu dikaitkan dengan bibit, bebet, bobot. Artinya, siapakah calon kita itu: dari keturunan yang bagaimana, latar belakang keluarganya bagaimana, karakter terutama berkaitan dengan gen-nya bagaimana. Harus benar-benar diperhatikan dan dipedulikan sebab akan menurun ke anak cucu kita, jika misalnya memiliki silsilah yang kurang bagus. Inilah yang membuat masa pacaranku dengannya diwarnai intrik yang memprihatinkan.

Aku, dengan latar belakang masa lalu kedua orang tuaku, sering menjadi bahan cibiran orang karena aku dilahirkan sebagai anak haram. Sekalipun itu bukan kemauanku, banyak orang, terutama calon mertuaku itu, memberikan cap buruk kepadaku. Karena itu, hubungan kami berdua tidak memperoleh restu dari kedua orang tua pacarku, Mas Yustinus. Dua tahun menjalin pacaran, Mas Yustinus  masih tampak tidak mantap karena ketiadaan restu orang tuanya. Aku tahu, aku sangat mencintainya, dan inilah yang kupikir digunakannya sebagai senjata untuk seolah mempermainkanku.

Mas Yustinus  anak kedua dari delapan bersaudara sehingga kiriman dana hidup bulanan sebgai anak kost selalu saja kurang. Bahkan, Mas Yustinus  sering mengirim uang untuk ibunya. Karena itu, dia kuliah sambil bekerja.

Aku  pun demikian. Kami berdua berkuliah sambil bekerja untuk mencukupi kebutuhan sebagai anak kost. Kami berdua memperoleh beasiswa meski dari sumber berbeda. Dan karena cintaku padanya, seringkali aku berbagi dengannya untuk biaya apa pun. Saat itu, beasiswaku keluar lebih dulu sehingga aku sempat membayarkan SPP untuknya. Bulanan pun sering aku membayar uang makan di warung langganan untuknya. Nah, di sinilah cerita itu bermula.

Suatu saat, aku harus melakukan perjalanan dengan naik bus untuk PPL (Pengalaman Praktik Lapangan) mengajar di salah satu sekolah negeri yang berada di luar kota. Tepatnya di kabupaten. Aku lupa kemarin uangku kupakai membayar utang warung, uang makan si dia, sehingga ongkos untuk bus pulang balik ke kota tidak ada lagi. Bingung, jelas. Karena itu aku memberanikan diri untuk melapor pembimbingku. Beliau memberikan solusi: aku harus nebeng salah seorang guru yang berasal dari kota dengan harus rela dibonceng naik sepeda motor. Cukup jauh, sekitar satu jam perjalanan. Karena kondisi, akhirnya aku terpaksa mau dan menerima tawaran itu.

Tepat sampai di depan indekosku, yang tidak jauh dari tempat indekosnya, Mas Yustinus  ada di depan situ. Dia melihat dengan mata kepala sendiri bahwa aku dibonceng sepeda motor lelaki lain.

"Dasar wanita bensin!" semprotnya sambil memburatkan rona tidak suka. Netra dan rona raut mukanya tampak membara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline