Lihat ke Halaman Asli

Ninik Sirtufi Rahayu

belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Passion Istimewa di Kala Purna

Diperbarui: 5 Juni 2024   10:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Passion Istimewa di Kala Purna
Oleh Ninik Sirtufi Rahayu

"Hal yang sangat menyenangkanku adalah membaca novel! Dengan membaca novel, aku selalu bisa merasa luar biasa bahagia. Serasa bisa menjelajah ke mana pun sesuai deskripsi yang disajikan penulisnya," gumamku ketika jenuh melakukan aktivitas rutin.

Kegemaran membaca terbentuk sejak aku usia prasekolah. Kakek yang kala itu belum pensiun sebagai kepala sekolah selalu membawaku ke sekolah tempat beliau berdinas. Aku menjadi murid pupuk bawang, murid istimewa hingga calistung sudah kukuasai sebelum benar-benar memasuki usia sekolah.

Selain itu, dua kakak sepupuku merupakan alumni jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKSS, IKIP Malang. Satu sepupu lelaki dan satu lagi perempuan dari perguruan tinggi yang sama, keduanya bergelar Sarjana Muda dengan titel B.A. Mereka berdua mengajar di SPG Negeri dekat rumah. Karena sepupu lelaki berasal jauh dari Trenggalek selatan, beliau indekos di rumah kami.

Ada satu lemari buku yang berisi karya sastra tulisan sastrawan terkenal, seperti Sutan Takdir Alisyahbana, Marah Rusli, Suman Hasibuan, Hamka, dan lain-lain. Adapun judul-judul buku tersebut Siti Nurbaya, Pertemuan Jodoh, Salah Pilih, Mencari Pencuri Anak Perawan, Anak Perawan di Sarang Penyamun, Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan lain-lain. Nah, roman yang kini termasuk ke dalam novel tersebut tentu saja sudah kulahap sejak usia SD. Maka, tak heran jika imajinasiku begitu liar berpendar ke mana-mana.

Jika tidak ke perpustakaan, aku selalu pergi mencari buku yang bisa kubaca secara gratis. Kalau ada saudara yang berlangganan majalah, apa pun itu, selalu bisa menjadi penawar hausku akan bacaan. Kadang juga ada penyewaan buku, tetapi sayang saat itu yang disediakan kebanyakan sejenis komik. Jujugan pertama ketika suntuk, pastilah kios buku bekas yang kebetulan berada tidak jauh dari rumah.

Saat membaca cerita atau novel, aku selalu berpikir, "Suatu saat orang harus membaca juga karyaku, tulisanku. Sama seperti saat ini aku membaca karya orang lain!"

Keinginan yang satu ini menggebu-gebu. Namun, kalah dengan kesibukan dinasku belaka.

Saat duduk di bangku SD dan SMP, aku berkesempatan menulis, tetapi genre puisi. Hal itu karena puisi lebih pendek dan bisa mewakili seluruh perasaan dan pikiran. Namun, sayang, puisi-puisi tersebut tidak terdokumentasi dengan rapi. Pernah sempat kutuliskan di buku tulis, tetapi tidak mendapat dukungan dari lingkungan. Buku tersebut dimusnahkan. Bahkan sampai dua kali, justru oleh dua sosok orang terdekatku. Ah, sudahlah, tidak perlu kusebut, sebab aku pun ingin melupakannya. Bagaimana pun team support system itu sangat diperlukan!

"Sakitnya, tuh di sini!" senandikaku sambil memegang dada tentu saja.

Semester pertama kelas 2 SPG, aku berhasil menuliskan cerpen perdana, berjudul "Gempa". Imajinasi nakalku membuat cerpen tersebut  sad ending dengan rumah hancur lebur rata dengan tanah. Padahal, saat itu, sekencang-kencangnya gempa bumi palingan hanya membuat dinding retak. Ternyata, terjadi sungguhan seperempat abad kemudian dengan adanya petaka tsunami di beberapa daerah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline