TAK SEMUDAH MENGATAKAN CINTA
Dra. Ninik Sirtupi Rahayu, M.Pd
Bahasa adalah sarana komunikasi yang sangat vital. Dengan bahasa kita dapat menyampaikan segala perasaan dan permasalahan. Dengan bahasa pula kita dapat belajar dan berkembang. Alangkah sepinya dunia tanpa bahasa, bagai seorang penyandang tunarungu atau tunawicara yang sedang bercinta! Tanpa bahasa kita tidak akan mampu meminta meski hanya sesisir pisang apalagi seuntai kalung mutiara kepada sang kekasih.
Bahasa telah membawa kita pada peradaban modern seperti sekarang. Sejak balita kita belajar segala sesuatu melalui paparan bahasa yang lazim disebut sebagai bahasa ibu. Bahasa ibu ini pada umumnya adalah bahasa daerah yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar atau oleh kedua orang tua kita. Kemudian, saat kita memasuki dunia pendidikan di sekolah dasar, kita mulai mengenal dan mempergunakan bahasa Indonesia.
Pada akhirnya, kita bergaul dengan sesama, tersenyum, tertawa, dan bercanda pun dengan sarana bahasa, baik bahasa ibu maupun bahasa Indonesia. Coba saja tidak ada bahasa Indonesia sebagai pemersatu, yang terjadi adalah pertengkaran, perkelahian antarsuku, dan bahkan mungkin juga perpecahan bangsa. Akan tetapi, bahasa yang kita manfaatkan sehari-hari dalam hidup dan kehidupan ini tidak pernah kita perhatikan secara serius. Tidak pernah tebersit dalam benak kita untuk memuja bahasa kita ini (baca: bahasa Indonesia) dengan memakai dan mempertahankannya secara sempurna. Yang penting asal paham. Titik.
Pada hakikatnya bahasa Indonesia telah mengalami perkembangan secara luar biasa. Kosakata bahasa Indonesia telah berkembang sedemikian rupa sehingga hampir takterhitung jumlahnya. Penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing pun terjadi secara pesat dengan mengadopsi, mengadaptasi, menerjemahkan, dan bahkan membentuk kosakata baru dengan cara berkreasi. Kosakata yang mengalami adopsi banyak sekali. Sebagai contoh kata-kata dari bahasa asing film, modern, video, radio, magic jar, filter, AC, dan lain-lain. Adopsi dari bahasa daerah, misalnya amblas, ampuh, heboh, ketus, usik, ceroboh, genit, gunjing, dan lain-lain. Adaptasi terjadi pada kata-kata kelas, gelas, lampu, risiko, foto, fotokopi, dan lain-lain. Terjemahan pun terjadi pada kata fly over menjadi 'jalan layang', ranking menjadi 'peringkat', brain storming menjadi 'sumbang saran', dan lain-lain. Bahkan kata baby sitter yang tidak ada padanannya dikreasikan menjadi 'pramusiwi'.
Pada lembaga pendidikan, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa resmi sekaligus bahasa pengantar. Mata pelajaran apa pun, kecuali bahasa daerah sebagai muatan lokal, disampaikan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Namun, secara realita pemanfaatan bahasa Indonesia, khususnya secara tertulis, di lembaga pendidikan tersebut masih sangat memprihatinkan.
Selain guru dan siswa, personalia pengguna bahasa Indonesia di lembaga pendidikan adalah staf tatausaha. Mereka bertugas menangani bidang administrasi seperti surat-menyurat, penulisan pengumuman, dan lain-lain. Sekalipun secara teknis administratif tugas yang mereka laksanakan cukup baik, ditinjau dari segi kebahasaan seringkali kurang memuaskan. Penulisan surat-menyurat dan berbagai pengumuman kurang memperhatikan kaidah penulisan, khususnya penerapan EYD, dan pemilihan diksi secara tepat.
Di sinilah permasalahan timbul. Sekolah sebagai lembaga pemerintahan resmi yang seharusnya menjadi teladan dalam pemanfaatan bahasa Indonesia, ternyata tidak dapat diandalkan. Pembelajaran bahasa Indonesia hanya dilakukan oleh guru (baca: guru bahasa Indonesia) di kelas. Personalia lain di sekolah seperti tenaga administratif tidak atau kurang memberikan pajanan pemakaian bahasa Indonesia, khususnya bahasa tulis, secara baik dan benar.
Pada dasarnya problematika pembelajaran yang dihadapi guru bahasa Indonesia berasal dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari 'dalam' diri guru mata pelajaran bahasa Indonesia sendiri, misalnya faktor-faktor intelegensi, bakat, dan minat. Sementara, faktor eksternal berasal dari 'luar' diri guru yang bersangkutan, misalnya lingkungan sosial, lingkungan kebahasaan di sekolah, sikap para guru nonmata pelajaran bahasa Indonesia, dan sebagainya.
Salah satu contoh faktor internal yang cukup berpengaruh dan dapat memicu terjadinya problem pembelajaran adalah latar belakang pendidikan guru yang bersangkutan. Apabila guru yang bersangkutan berasal dari LPTK yang sesuai misalnya IKIP, PGSLP/PGSLA, atau FKIP dengan jurusan program studi yang sama, faktor pendukung menjadi dominan. Sebaliknya, bila guru tersebut tidak berasal dari program studi atau jurusan bahasa Indonesia dari LPTK yang berwenang, sementara di sekolah harus mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia, problem pun muncul tanpa diundang.
Sebagai contoh sederhana, bagaimana guru mampu menyajikan materi 'puisi' di kelas bila guru tersebut tidak mampu membuat atau menulis puisi secara mandiri? Demikian halnya dengan masalah bakat dan minat. Bakat dan minat guru bahasa Indonesia terhadap permasalahan bahasa dan sastra Indonesia juga sangat memengaruhi proses dan hasil pembelajaran.
Berapa banyak guru bahasa Indonesia yang sudah menghasilkan karya sastra? Jangankan menulis kreatif karya sastra, membaca novel terkenal seperti Laskar Pelangi, Burung-burung Manyar, Saman, atau bahkan Harry Potter yang disukai dan sudah dibaca para siswa pun tidak sempat dilakukan oleh guru (baca: guru bahasa Indonesia).