Lihat ke Halaman Asli

Ninik Sirtufi Rahayu

mengisi usia senja dan bercanda dengan kata

Tokek

Diperbarui: 29 Mei 2024   04:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tokek

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu (Ni Ayu)

Sejak pulang ke desa tiga hari silam, gendang telinga ini sudah terbiasa dengan suara-suara hewan yang ada di seputaran rumah. Rumah di desa memang akrab dengan bunyi-bunyian alami itu. Ada suara jangkrik di dalam kamarku yang membuat tak bisa tidur nyenyak. Bahkan, suara gareng pong yang tak mau berhenti. Entah berapa ekor jumlah mereka.  Tak terdeteksi saking banyaknya!

Hewan mirip lalat  dengan ukuran lebih besar itu hinggap dari satu pohon ke pohon lain sambil menggetarkan kedua sayap sehingga cukup membuat berisik suasana pagi hingga sore. Kalau malam, kayaknya mereka pun beristirahat tidur semalaman agar esok pagi bisa berteriak-teriak kembali. Berteriak? Bukan, bukan berteriak. Sebab mereka menggesekkan sayap, bukan dengan mulut.

Apalagi jika ruak-ruak musim kawin, aduhai mereka lebih tidak tahu waktu dan tidak tahu malu lagi. Teriak hewan gesit mirip burung puyuh dan miniatur blekok ini suaranya aduhai banget. Menggema bersahut-sahutan. Karena itu, jika baru mendengarnya, dapat dipastikan Anda akan dibuat kesal bukan main.

Satu hal yang membuatku jengkel adalah suara tokek. Hewan merayap mirip cicak ini pun sangat berisik suaranya. Namun, entah kenapa ... orang yang mendengar ada juga yang menghitung sambil berkata dalam hati untuk sekadar pertimbangan.

Misalnya ketika mendengar suaranya ... tokek (jadi), tokek (enggak jadi), tokek (jadi), tokek (enggak jadi), dan seterusnya. Lucu juga kalau berikutnya tidak bersuara jelas tokek, tetapi separuhnya saja, tok ... errr .... Nah, apa dong! Jadi atau enggak, ya?  

Berbeda dengan adik perempuanku. Begitu mendengar bunyi tokek, ia segera mencari puntung rokok. Setelah mengetahui di mana posisi hewan itu berada, langsung menangkapnya dengan cara apa pun. Jika sudah tertangkap, dijejalkanlah sedikit tembakau dari puntung rokok sehingga si hewan knock out hingga tewas. Untuk apa dia tega membunuh hewan itu? Hmmm, ternyata kepalanya langsung dipenggal dan tubuhnya digoreng di penggorengan tanpa minyak.

"Haduuhhh, kok tega kamu membunuh hewan itu?" tanyaku.
"Penting, ini!"
"Buat apa?"
"Loh, ini obat penyakit kulit, Mbak! Anak kecil yang kudisan atau eksim bakal sembuh dengan mengonsumsi daging tokek atau kadal!" jawabnya diplomatis banget.
"Sok tahu kamu, ah!" sergahku.
"Loh, begini-begini ilmu warisan kakek, loh! Mbak saja yang tidak perhatian!" sanggahnya.
Lain adik, lain juga dengan sambutan pamanku. Mendengar suara tokek, Paman langsung segera mencarinya pula.
"Buat apa, Paman?" tanyaku antusias.
"Mau kujuallah! Harganya lagi meroket," jawabnya polos.
"Hah? Dijual di mana?"
"Ya, di Splendid-lah! Di sana aneka hewan bisa dijual. Banyak pedagang yang mengoleksi berbagai jenis hewan untuk dijual kembali!"
"Ohh, gitu!"
"Nah, tokek adalah sumber rezeki juga, kan?" jawabnya berapi-api.
Aku hanya manggut-manggut saja menanggapi, "Ada-ada saja," pikirku.
"Hidup ini sebenarnya hanya memanfaatkan peluang saja, Ndhuk! Ketika ada peluang, ya ... ayo mulai berjuang!" lanjutnya.
"Kalau mendengar ruak-ruak, Paman juga memburunya?"
Paman hanya tersenyum tidak segera menjawab pertanyaanku.
"Hmm ... biarkan saja mereka menghuni dan meramaikan tepian sungai!" lirihnya.

*** 

 

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline