Bagai Cangkang Kerang (Part 2)
"Borobudur ... Borobudur!" teriak kenek.
"Mbak turun Waing?" teriaknya padaku.
"Iya," jawabku lirih.
"Hati-hati, ya Mbak," pesan si ibu di depanku.
Badanku terasa oleng alias melayang.
Aku merogoh uang ongkos angkot di saku, tetapi kucari-cari baik di saku kemeja maupun di saku rok tidak juga kutemukan. Lumayan panik sehingga terdengar suara.
"Sudah turun saja, ongkosnya kubayarkan! Hati-hati!" pesan si Bapak.
"Terima kasih, Pak," jawabku menggangguk santun sambil turun.
Mungkin wajahku merona bagai lobster rebus. Malunya ....
Begitu turun dari angkot, Arnold ketua kelasku kebetulan sedang lewat bersepeda motor dengan perlahan. Tepat di belakang aku turun dari angkot itu.
"Aka? Kau naik angkot?" tanyanya heran sambil mengernyitkan kening dan menelengkan kepalanya.