Senja itu ....
Saat didengar gemericik air yang digunakan si bidadari mandi, Prasojo meminta ikut masuk karena ia tak tahan hendak buang air kecil. Saat itulah netra Prasojo menikmati pemandangan luar biasa indah. Si jelita yang sepuluh tahun lalu masih digendong dan disuapi tatkala sakit, kini telah bermetamorfosis secara sempurna, menjelma menjadi bidadari dengan pesona luar biasa. Ternyata sang putri berubah menjadi gadis dengan raga luar biasa sempurna.
Seandainya putik, ia sudah matang dan siap untuk diserbuki. Si bidadari bagai kuncup teratai yang baru merekah dengan indah, mengapung di kolam bernama bath up dengan aroma cendana. Harum semerbak pun menguar menenangkan jiwa, tetapi sanggup menendang pintu asmaraloka.
Hati siapa yang tidak terpikat oleh pemandangan indah itu? Prasojo pun tidak kuasa menahan diri untuk tetap mempertahankan posisi sebagai ayah angkat. Ia justru lebih mendengar suara hati yang ingin memperlakukan si gadis sebagai seseorang yang layak menerima cinta kasih. Ya, tidak kuat lagi ia menahan gelegak membongkah yang sudah sampai ubun-ubun. Apalagi beberapa bulan terakhir sang istri seolah kurang peduli, tiada memperhatikan kebutuhan biologis yang satu itu.
Ia tidak melihat sebagai gadis kecil yang siap diamankan dan diberi pengamanan, tetapi justru sebagai wanita matang menantang birahi. Senyum manis malu-malu itu telah memikat hati. Menggerogoti kesabaran dan kesadaran. Merenggut manis naluri badani memanggil-manggil untuk segera berseraga.
Tatap netra redup yang lembut sayu itu seolah magnet agar makin dekat dan mendekat. Ia pun ingin melekat pada magnet alam itu. Bukankah rekah senyum di bibir ranum nan elok dan malu-malu bak undangan pula? Lalu redup sayu tatap lembut merupakan pesona panggilan alam? Siapa akan tahan menghadapi aura itu?
Setelah membuka pintu kamar mandi, menikmati pikat netra, ia keluar sebentar. Dibebaskanlah diri dari segala yang mengikat. Perlahan kembali ia memasuki area tempat sang primadona belum menyelesaikan aktivitas.
Melihat sang ayah masuk tanpa mengenakan penutup, sontak sang putri kaget. Namun, ketika pria gagah itu mengatakan bahwa ia pun merasa gerah dan ingin mandi, sang bidadari menunduk sambil tersenyum maklum. Semburat merah membuncah merona di pipi putih berhias busa sabun mandi.
"Kan dulu Papa biasa memandikanmu, masih ingat?" raut si jelita tersipu pula.
" Mmm ... nggak pernah lihat Papa begitu ...," lirihnya gemetar sambil menunduk.
"Kenapa, emang ... ?! 'Kan harus begini?" alasan lugas sang ayah.
"I-iya ...!" sahut si putri angkat dengan muka merona.