Leleh Laksana Lilin
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
"Kenapa sih Bu, Wita mulu yang disuruh maju. 'Kan nilai Wita sudah bagus!" sergah Perwita yang menolak secara halus perintah guru matematikanya.
"Hush, jangan membantah, Dik. Kerjakan saja kenapa, sih?" cegah Purwati kembaran yang duduk di sebelahnya dengan lembut.
"Ah, Kakak selalu nggak setuju dengan keinginanku. Maksudku, kalau yang lain bisa dan mau maju untuk mengerjakan di depan ... 'kan lumayan bisa menambah nilai!" sewotnya.
Bu Sri hanya menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Si kembar Perwita dan Purwati memang keduanya sama-sama pandai, tetapi perbedaan perangai mereka lumayan mencolok. Jika Wita cenderung agak ketus, sombong, dan semau gue, Wati sebaliknya. Purwati memiliki perasaan peka dan sangat halus. Jika berbicara terkesan hati-hati dan tidak asal keluar. Dipikirkannya baik-baik apakah tutur katanya akan menyinggung perasaan orang lain. Makanya, Purwati terkesan kalem, sabar, dan tidak grusa-grusu.
"Ya, sudah. Tak apa jika Wita tidak berkenan mengerjakan di depan kelas. Bagaimana? Siapa yang ingin mencobanya?" Bu Sri menawarkan kepada seisi kelas kalau-kalau ada sukarelawan yang bersedia mengerjakan soal hitungan di papan tulis.
Namun, beberapa saat kelas hening, tak ada seorang siswa pun yang mengangkat tangan atau beranjak mengerjakan ke depan kelas.
Sebenarnya, soal yang di papan tulis adalah soal biasa yang cukup mudah. Akan tetapi, Bu Sri hanya ingin mengecek apakah ingatan siswa masih bagus terhadap soal lama tersebut.
"Bu, mohon maaf. Apakah Wati diperbolehkan mencobanya?" lirih Wati setengah berbisik kepada Bu Sri.
"Boleh ... dong, Sayang. Wati mau mencoba? Gunakan jalan panjang, ya!" pesan Bu Sri ramah.