Bukan Sekadar Bermimpi
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Menyopiri kendaraan sendiri melewati perempatan Rampal seperti biasanya, hari ini menjadi berbeda. Kulihat seorang gadis sedang melintas melewati zebra cross tepat di depan kendaraanku. Lalu tiba-tiba ... ingatan melayang ke masa silam, catur dasawarsa silam!
Sungguh hal itu mengingatkan aktivitasku di tempat ini puluhan tahun silam! Ya, dulu ... dulu sekali ... akulah yang berjalan kaki. Namun, kini aku tidak pernah lagi berjalan kaki. Sebuah kendaraan mungil dan trendi setia menemaniku ke mana-mana. Bagaikan menonton tayang ulang sebuah film kehidupan ... selama menunggu lampu merah berganti hijau, terlintaslah flash back masa laluku.
"Jangan pernah bermimpi kalau kamu bisa kuliah! Arek wedok itu cukup belajar masak, nyuci, nyetrika yang bener, nggak usah muluk-muluk! Nggak usah mimpi, kamu!" teriaknya sinis sambil mlengos membuang muka. Bibir tipisnya pun mengerucut manyun!
Ya, ... masih terpeta nyata tutur dan senyum sinis Budhe Lilik mencemooh ketika aku meminta kuliah di Malang saat itu. Kuambil napas dan kubuang perlahan,
"Ya, Allah ... alih-alih mendoakan ini malah merutuki. Tidak bisakah menyemangati meski tidak membiayaiku?"
Hidup itu bagaikan kampus mahaluas dengan berbagai pelajaran yang harus dicermati dan diaplikasi dengan baik. Belajar dari sana, aku semakin dewasa di dalam menyikapi kehidupan ini. Kehidupan yang semula kelabu ungu dan berharap menjadi biru kemilau!
Pada tahun yang sama, tepatnya akhir tahun 1975, berbekal doa kakek nenek dan menyimpan perkataan sadis Budhe Lilik tersebut ingin kubuktikan bahwa aku bisa berkuliah di Kota Malang. Ambisi gadis desa dengan predikat juara pertama yang ingin membuktikan bahwa dia bisa melanjutkan pendidikan, tanpa memikirkan dana, sementara hanya mengandalkan daya! Bonek istilahnya! Namun, bukan kebetulan kalau salah satu saudara dari Surabaya datang dan mengajak ke Malang untuk mendaftarkan diri ke IKIP Malang.
Setelah mengikuti pendaftaran, sekalian menunggu pengumuman sekitar seminggu lagi, disarankan tinggal di rumah saudara yang dekat dengan kampus. Tidak pulang ke desa lagi. Ternyata, aku diterima. Selanjutnya, mengikuti aktivitas kampus dengan ikut nebeng alias ngenger pada keluarga tersebut. Pikirku, yang penting aku bisa kuliah. Satu semester saja di situ karena saudara yang kuikuti, pasangan paramedis bagian penyakit jiwa, menerima indekos dua orang pasien gangguan jiwa.
Tahu, 'kan? Bagaimana rasa ngenger itu? Mahasiswa termiskin dengan busana dan dandanan paling sederhana yang sedang berjibaku menggapai cita dan asa? Bisa membayangkan model penampilanku yang ala ndeso, 'kan? Sementara, di rumah saudara itu aku menjadi babu, mengerjakan apa pun yang harus kulakukan. Bersyukur, nilai indeks prestasi semester pertama melejit di atas tiga sehingga memperoleh beasiswa jenis Tunjangan Ikatan Dinas.
Semester kedua aku tidak tahan dengan perlakuan pasien yang selalu menggedor-gedor jendela kamar, tepatnya gudang, yang kutempati setiap malam. Belajar sambil ndremimil berdoa agar bisa keluar dari tempat tersebut. Allah mendengar doaku dengan mengirim saudara di kota sama menjemputku. Pasangan Pakdhe dan Budhe Budi dengan bungsu gadis usia terpaut dua tahun di bawahku. Sayang, rumah Pakdhe dan Budhe Budi ini lumayan cukup jauh dari kampus. Kalau sebelumnya hanya berjarak tiga ratus meter, kini menjadi enam kilometer tanpa ada angkutan umum. Karena itu, setelah pindah ngenger di rumah saudara ini, kakiku selalu memar membiru karena tiap hari berjalan kaki sekitar tiga belas kilometer pergi pulang.
"Ya, Allah ... mudahkanlah jalanku meraih mimpi!" tangisku mengayun langkah potong kompas melalui lapangan Rampal secara diagonal. Lapangan sangat luas dengan ilalang setinggi badanku saat itu.
Singkat cerita, semester lima tahun 1978 aku memperoleh jodoh. Arema. Arek Malang asli putra tunggal sehingga tidak perlu ngenger atau indekos, tetapi langsung ikut suami di rumah mertua indah. Namun, bom hatag pun masih bergulir menimpaku. Bom hatag istilah dalam mata kuliah Kewiraan ini merupakan akronim dari hambatan, tantangan, ancaman, dan gangguan itu datang silih berganti. Belum saatnya aku menikmati kenyamanan, tetapi harus mengalami ujian demi ujian untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan. Tuhan masih berkenan memprosesku melalui kesulitan demi kesulitan. Ujian kesabaran yang dibebankan kepadaku, kuyakini sebagai proses kenaikan tingkat sehingga harus kuhadapi dengan sabar dan tawakal. Ujian kesabaran merupakan ujian tingkat tinggi dalam kampus kehidupan, bukan?