Lihat ke Halaman Asli

Ninik Sirtufi Rahayu

belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Yang Menyentuh Hatiku

Diperbarui: 8 Mei 2024   23:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Yang Menyentuh Hatiku
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Mohon maaf. Jika aku menceritakan hal berikut, bukan berarti pamer, melainkan ingin berbagi berkat. Itu saja. Apa yang pernah aku alami dan hal apa yang sangat menyentuh hatiku saat bersama bungsu, sungguh merupakan peristiwa yang tidak dapat kulupakan. Masih terbayang dalam ingatan, dan terngiang dalam memoriku. Bersyukur kepada Tuhan yang memberikan kesempatan bersamanya. Ini sungguh menggugah kerinduanku padanya. Berharap tak lama lagi dia pulang ke tanah air dengan membawa segenggam berlian berupa ilmu yang akan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Amin.


Aku dan si bungsu sedang semobil. Kami pulang dari perjalanan ke rumah seorang teman yang sedang sakit. Kami hanya berdua. Aku bertugas menyetir, sementara bungsuku berada di jok depan di sampingku. Dia bercerita banyak mengenai aktivitasnya dan apa saja yang bisa kami obrolkan. Karena hanya saat-saat demikianlah kami bisa memiliki our time.


Sejak kami memperoleh rumah lain, bungsuku tinggal di rumah yang satu lagi ditemani bude sebagai pamong. Pamongnya ini kakak suamiku yang mengasuh dan merawatnya sejak lahir. Maklum, sejak sebelum lulus kuliah dan belum menikah, aku sebagai perempuan sibuk dengan tugas mengajar di beberapa tempat. 


Bungsu bilang ingin memiliki bisnis sendiri, yakni sebagai bapak indekos bagi mahasiswa di almamaternya. Uang hasil indekos itulah yang hendak digunakan untuk menambah-nambah biaya hidup dan kuliahnya.


"Anggap saja aku indekos, tetapi Mama nggak membayar indekosku ... hehe ...! Uang indekos anak-anak berarti bagianku, ya Ma. Mama jangan memintanya!" katanya.


Sementara aku dan ayahnya tinggal berdua di rumah lain, kami jarang bisa bertemu setiap hari. Setiap minggu memang kami upayakan untuk bertemu agar rasa rindu pun terobati. Apalagi dua kakaknya yang lain sudah hijrah ke ibu kota sejak beberapa tahun silam.


Saat sampai di dekat Museum Brawijaya, tetiba dia berseru, "Ma, Ma ... putar balik, Ma!" mendapat aba-aba begitu tanpa bertanya aku pun memutar balik arah kendaraanku.


"Situ, Ma ... aku turun di situ itu, loh!" teriaknya sambil menunjuk seseorang yang sedang duduk di trotoar.


Dia bergegas turun dan ketika datang ke kaca sebelah, dia bilang lagi, "Ma, lihatlah. Kasihan banget orangnya. Bisa nggak Ma kita antar dia sebentar!"


Aku pun turun dari kendaraan. Kulihat seorang ibu sepuh menjajakan dagangan, yakni ketan bubuk. Ibu itu berkata sambil berurai air mata ....

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline