Lihat ke Halaman Asli

Ninik Sirtufi Rahayu

Penulis novel: Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll.

Olimpiade Sastra

Diperbarui: 6 Mei 2024   09:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seni. Sumber ilustrasi: Unsplash

OLIMPIADE  SASTRA

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Bulan Oktober identik dengan Bulan Bahasa. Hal ini berkaitan dengan peristiwa Sumpah Pemuda yang tepatnya diperingati pada setiap tanggal 28 Oktober.

Kegiatan Bulan Bahasa dilaksanakan sebagai peringatan betapa pentingnya bahasa Indonesia, baik dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi maupun bahasa nasional. Selain sebagai bahasa resmi negara, bahasa Indonesia juga menduduki fungsi sebagai bahasa nasional. Salah satu peran bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah kemampuannya dalam mempersatukan seluruh suku bangsa yang beraneka di negara ini. Dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan tersebut, semua suku bangsa dapat berkomunikasi dan bersosialisasi tanpa kendala. Segala permasalahan yang menimpa antarsuku dapat dituntaskan dengan baik. Dengan bahasa yang sama ini pula seorang siswa yang terpaksa harus pindah sekolah (karena mengikuti orang tua yang dimutasi mendadak oleh instansinya) dapat mengikuti pembelajaran dengan baik di mana pun ia harus melanjutkan sekolahnya.

Sebagai warga negara yang baik, kita harus menekankan ulang trisumpah yang telah diikrarkan para pahlawan pendahulu kita itu. Salah satu bunyi trisumpah itu, "Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia". Setelah 81 tahun berlalu, benarkah kita pun masih bersumpah yang sama, mengaku dan menjunjung bahasa Indonesia tersebut?

Mari  kita tengok kembali kebiasaan kita dalam berbahasa Indonesia. Tidak ada beda apakah kita sebagai pegawai kantoran, sebagai wiraswastawan, ataupun sebagai ibu rumah tangga, bahasa Indonesia itu mesti kita perlakukan secara benar. Memang takdapat disangkal, dalam perkembangannya bahasa Indonesia mengalami penambahan kosa kata baik dari berbagai bahasa asing maupun dari bahasa daerah. Penyerapan tersebut terjadi baik melalui adopsi, adaptasi, terjemahan, ataupun kreasi. Akan tetapi, aturan yang ditetapkan dan lazim disebut EYD tetap harus kita patuhi. Misalnya, penulisan fotokopi, bukankah di lapangan yang kita lihat adalah tulisan-tulisan yang salah? Kata itu ditulis sebagai foto copy atau photo copy. Penulisan gelar dokter yang ada pada papan nama (seorang dokter) seringkali penulis lihat tertulis salah, misalnya DR. Haryadi. Jika yang dimaksud adalah profesi dokter bukan gelar doktor, penulisan yang benar adalah dr. Haryadi. Demikian pula penulisan apotek dan praktik pada beberapa papan nama. Yang tertulis justru yang salah yakni, apotik dan praktek. Hal-hal kecil semacam ini bila dilanggar akan membingungkan anak cucu (baca: siswa) kita. Ketika di sekolah guru gencar membenahi kesalahan penulisan, di lapangan yang terjadi justru sebaliknya. Ironis, bukan?

Dalam rangka Bulan Bahasa pula, Butet Kertarajasa menjadi salah satu pembicara dalam Seminar Sastra yang digelar di SMA Dempo Malang. (Tanpa sastra, tak ada pemimpin humanis, Surya, 21 Oktober 2009). Butet memberikan dukungan moral kepada guru agar tidak perlu takut mengajarkan Sastra Indonesia karena materi sastra tersebut justru merupakan investasi untuk membentuk calon pemimpin bangsa yang humanis.

Materi sastra dalam kemasan kurikulum terbaru pun penulis rasakan terlalu minim. Sastra seolah masih dianaktirikan. Akibatnya, siswa kurang mengenal materi sastra apalagi karya-karya sastra unggulan buah pena pengarang terkenal angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan lain-lain. Bukankah tak kenal maka tak sayang? Jangan salahkan siswa jika mereka tidak tahu-menahu Siti Nurbaya, ikon Balai Pustaka itu! Telinga mereka lebih akrab dengan Ayat-ayat Cinta daripada Burung-burung Manyar, meski buku itu telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing.

Sehubungan dengan pentingnya materi sastra, MGMP Bahasa Indonesia SMP Negeri dan Swasta Kota Malang menggelar Olimpiade Sastra khusus untuk siswa SMP/MTs. Olimpiade Sastra ini belum pernah dilakukan sehingga praktis merupakan hal baru. Materi yang diujikan adalah sejarah sastra, teori sastra, pengarang dan karyanya, angkatan sastra, istilah-istilah sastra, dan bentuk sastra, termasuk praktik apresiasi unsur intrinsik sastra.

Adapun  peserta merupakan tim yang terdiri atas dua orang dan setiap sekolah hanya mengirimkan satu tim saja. Teknik pelaksanaan lomba dipecah menjadi tiga babak. Babak pertama tim diminta mengerjakan  tes tulis sejumlah lima puluh butir soal. Tim yang memenuhi syarat yakni lima belas urutan terbaik akan melanjutkan ke babak kedua. Babak kedua yang diikuti oleh lima belas tim ini akan mengerjakan tes praktik berupa apresiasi sastra untuk menentukan unsur intrinsik karya sastra. Pemenang babak kedua ini akan dipilih lima besar untuk mengikuti babak ketiga. Selanjutnya, lima tim terbaik ini akan mengikuti seleksi adu cepat atau cerdas cermat. Nilai akhir adalah hasil kumulatif dari babak pertama hingga babak ketiga dan pemenangnya adalah peraih nilai terbaik hasil kumulatif dalam olimpiade.

Melalui Olimpiade Sastra ini diharapkan siswa mengenal lebih dalam materi kesusasteraan dan dengan demikian muncul kecintaan dan kegemaran akan materi sastra. Siswa  akan memburu hasil karya sastra, membaca, dan memetik nilai positif dari bacaan sastra tersebut. Apa yang diharapkan oleh Butet bahwa kelak tercipta pemimpin yang humanis pun bukan sekadar omong kosong. Oleh karenanya, aktivitas Olimpiade Sastra ini dapat diterapkan sekolah lain, bahkan jika bisa dilaksanakan secara nasional sebagaimana Olimpiade Fisika atau bidang IPA yang lain. Layak, bukan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline