Sebuah Rahasia
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
"Akui saja, Fem!" teriak ibuku dengan lantang.
Aku hanya diam.
"Apa yang harus kuakui kalau kenyataannya aku memang tidak mengambil uang itu? Aku tidak tahu apa-apa!" batinku memberontak.
"Ampun, Ayah ... ampun!" hanya itu yang mampu terucap dari bibirku yang bergetar hebat atas tamparan demi tamparan yang didaratkan pada pipiku.
Panas, nyeri, dan mungkin ada luka karena pedihnya sampai ke tulang. Batu akik yang ada di jemari orang yang kusebut ayah itu terasa melukai pelipisku. Namun, aku bisa apa?
Beruntung bunyi handphone Ayah berdering sehingga penyiksaannya padaku otomatis terhenti. Setelah bertelepon dengan seseorang, segera Ayah bergegas meninggalkan rumah.
"Apa sih yang membuatmu berubah menjadi pencuri seperti ini? Jangan salahkan Ayah kalau main tangan padamu!" bentak ibuku pula.
Ibu yang harusnya menjadi tempat perlindunganku, bahu tempatku menyandarkan pelukan, justru tidak pernah terjadi. Mereka adalah monster bernyawa yang selalu siap memusuhiku. Hampir setiap hari. Ya, hampir setiap hari aku tidak pernah merasakan apa yang disebut kasih sayang.
Sebelum berangkat ke sekolah, aku singgah di rumah Bu Rukmi untuk mengambil dua termos es yang siap kujajakan berkeliling kampung sepulang sekolah nanti. Ketika berada di sekolah, aku menitipkan dua termos es itu ke kantin sekolah. Satu termos untuk dijual Ibu Kantin saat istirahat, sementara yang satunya lagi akan kujajakan sepulang sekolah.