Lihat ke Halaman Asli

Ninik Sirtufi Rahayu

mengisi usia senja dan bercanda dengan kata

I Love You

Diperbarui: 27 April 2024   09:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

I Love You

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

"Wah, ini masih bagus, bisa kucuci," batinku sambil memungut benda kecil seukuran telapak tangan, berwarna merah, berbentuk hati dengan tulisan sulam  I love you.

Pagi kemarin seperti biasa, setelah musim hujan tiba, aku mencari sayuran di lahan tidur depan rumah. Ada bayam dan pepaya jepang yang bisa kupetik tiap beberapa hari sekali sebagai lauk kawan nasi tanpa membeli.

Pepaya jepang atau cnidoscolus aconitifolius tergolong sayuran relatif baru di Indonesia. Berasal dari Amerika Tengah dengan sebutan Chaya, dalam bahasa Inggris dijuluki tree spinach. Pohonnya sudah cukup tinggi, tetapi masih bisa kuraih pucuknya. Bentuknya mirip daun pepaya, tetapi tidak pahit. Konon merupakan tanaman obat.

Di bawah pohon setinggi dua setengah meteran itulah benda unik berbentuk hati itu kutemukan. Kotor, berdebu, dan terdapat bercak tanah di sana sini, tergeletak begitu saja. Meski kotor, ia tampak cantik sekali. Aku terperangah, terpana, dan tertarik untuk mengambil dan memiliki benda tak bertuan itu. Sengaja  kuambil dan hendak kucuci.

Maklum, sekian lama area lahan tidur tersebut biasa digunakan sebagai tempat pembuangan sampah sebelum akhirnya dibersihkan dan diratakan seperti sekarang. Segera, setelah sayuran buat lauk cukup, kubawalah pulang bersama benda temuan lalu segera kueksekusi.

Ketika kuambil dari mesin cuci dengan aroma pewangi menguar, tetiba teringatlah aku akan diriku sendiri. Seolah benda cantik terbengkalai itu adalah aku. Sesuatu yang telah dibuang, tetapi dipungut, dicuci, dibersihkan dari segala kotoran hingga tampak indah kembali bagai sedia kala. Dipungut dari kubangan dosa, tentu saja.

Betapa tidak! Dahulu aku merasa menjadi seseorang yang terbuang. Ya, terbuang oleh keadaan, baik secara fisik maupun psikis, sengaja maupun tidak sengaja. Masalahnya sepele saja. Aku terlahir dari seorang ibu yang tidak dinikahi ayahku karena berbagai hal. Dengan demikian, olok, caci maki, dan sebutan 'anak haram' disematkan orang kepada diriku sejak masih orok hingga remaja.

Saat masih kanak-kanak, berbagai perundungan biasa kuterima karena ketiadaan kedua orang tua di dalam kehidupanku. Ada kakek nenek yang membelaku. Namun, tentu saja kalau berada di dekat mereka. Sementara, bila berada berjauhan, dengan leluasa mereka melakukan perundungan. Beruntung, aku memiliki seorang teman perempuan bernama Wiji. Tubuhnya bongsor, tinggi besar, usianya terpaut lebih tua dua tahun, tetapi sekelas denganku. Yu Wiji inilah yang mati-matian membelaku bila ada anak nakal yang mengganggu, menjahati, mengusili, menjulidi, dan mengisengiku. Ia bagai dayang-dayang penyelamatku yang dipercaya oleh kakek nenek!

Ketika menginjak remaja, luka batin itu kian merajalela, mengakibatkanku menjadi sosok introvert dan insecure. Ketika beranjak dewasa, dendam kesumat kian membara. Bukannya menjadi baik, aku malah menjadi binal dan nakal. Berbagai kejahatan kulakukan. Aneka dosa kulalui seolah melampiaskan dendam, tidak jelas entah kepada siapa. Segala kemaksiatan kujalankan meski secara sembunyi-sembunyi. Pikirku, toh tidak seorang pun tahu. Namun, nuraniku menohok-nohok. Aku tahu, Tuhan Yang Maha Tahu itu sangat tahu!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline