Lihat ke Halaman Asli

Ninik Sirtufi Rahayu

belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Berselempang Semangat Laskar Pelangi

Diperbarui: 15 April 2024   20:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Berselempang Semangat laskar Pelangi

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Bahasa merupakan sarana komunikasi vital. Dengan bahasa kita dapat menyampaikan segala perasaan dan permasalahan. Dengan bahasa pula kita dapat belajar dan berkembang. Alangkah sepinya dunia tanpa bahasa, bagai seorang penyandang tunarungu atau tunawicara sedang bercinta yang tidak mampu mengungkapkan isi hatinya  kepada sang kekasih.

            Bahasa telah mengantarkan kita pada peradaban modern seperti sekarang. Sejak balita kita belajar segala sesuatu melalui bahasa ibu (umumnya berupa bahasa daerah yang dipakai kedua orang tua kita atau oleh masyarakat sekitar). Saat memasuki dunia pendidikan di SD, kita mulai mengenal dan mempergunakan bahasa Indonesia. 

Pada akhirnya, dalam  kehidupan sehari-hari kita bernyanyi, bercanda, dan bergaul dengan sarana bahasa, baik bahasa ibu maupun bahasa Indonesia. Coba saja tidak ada bahasa Indonesia sebagai pemersatu dalam pergaulan yang multietnis ini, yang terjadi adalah pertengkaran, perkelahian antarsuku, dan bahkan mungkin juga perpecahan bangsa. 

Akan tetapi, bahasa multifungsi yang kita manfaatkan ini tidak pernah kita perhatikan secara serius. Tidak pernah tebersit dalam benak kita untuk mencintai  bahasa kita ini (baca: bahasa Indonesia) dengan mempergunakannya secara baik dan benar. Yang penting asal paham. Selesai.

Era globalisasi menyebabkan masyarakat lebih tergila-gila pada pemakaian bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Sungguh merupakan cermin betapa kurang cintanya masyarakat terhadap bahasa Indonesia karena dianggap kurang bergengsi. Segala sesuatu seolah-olah lebih tinggi nilainya jika ditulis dengan bahasa asing. Oleh karena itu, tidak heran jika masyarakat lebih memilih menuliskan  Audio Car Center, Handphone Second, Central Cellular, Service Hand Phone, Jual Beli Spare Parts,  dan lain-lain dalam dunia bisnis karena merek atau diksi tersebut dinilai lebih memiliki 'daya jual'. Sungguh ironis dan kontradiktif!

Meski di-UN-kan, bukan rahasia lagi jika bahasa Indonesia kurang mendapat 'tempat' di hati para siswa. Siswa menganggap pelajaran ini bukan bidang eksak sehingga tidak dipelajari secara serius. Atau, mungkin mereka menganggap terlalu gampang dan merasa 'bisa'. Padahal, materi bahasa Indonesia lumayan sulit dan untuk menjadi seorang ilmuwan, kita harus menguasai bahasa Indonesia baik secara lisan maupun tertulis. 

Banyak  hal yang harus dipahami dan dipelajari siswa, misalnya  masalah penerapan EYD. Siswa  belum merespons positif, acuh takacuh. (Konon, di Australia bahasa Indonesia merupakan pelajaran favorit). Hal inilah yang memprihatinkan dan memerlukan solusi cerdas menyiasatinya.

Perkembangan kosakata luar biasa pesat. Melalui adopsi, adaptasi, terjemahan, dan kreasi kita memiliki sekian juta kosakata. Namun, dalam hal penulisan masih perlu dicermati. Kosakata asing yang sudah diindonesiakan semestinya harus ditulis dengan benar, misalnya sistem, sistematis, analisis, diagnosis, kreatif, kreativitas, teoretis, nasihat, praktik, apotek, atlet, dan lain-lain. 

Masalah nasalisasi (peluluhan konsonan p, t, s, k)  juga acapkali membingungkan siswa, misalnya parkir -- memarkir, pesona -- memesona, pengaruh -- memengaruhi, taat -- menaati, ubah -- mengubah, dan sebagainya.  Jika guru dan karyawan menuliskannya secara salah, siswa pun akan mengikuti hal yang salah tersebut. Guru Bahasa Indonesia pun saat memberitahukan yang benar, bisa jadi disanggah! Ya, karena pajanan di lapangan justru yang salah. Yang terpapar bukan yang benar!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline