Lihat ke Halaman Asli

Ninik Sirtufi Rahayu

Penulis novel: Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll.

Air, Mata Air, dan Air Mata

Diperbarui: 14 April 2024   09:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Air, Mata Air,  dan  Air Mata

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

 

Lima dasawarsa silam saat masuk Kota Malang, penulis pernah indekos di rumah seorang ibu yang bukan main cerewetnya. Setiap keluar dari kamar mandi, beliau selalu mengomentari berapa gayung air yang telah kami gunakan untuk mandi. Waduh,  ... kesal sekali rasanya. Apalagi hal itu dikatakan dengan nada sinis dan wajah yang aduhai sadis!

Setelah empat dasawarsa berlalu, sepuluh tahun silam, kebetulan memiliki kamar berlebih yang bisa digunakan sebagai indekos mahasiswi, penulis baru 'tahu rasa'. Betapa  masalah air memang tak dapat dianggap sepele. Benar, ternyata para 'wanita' terkenal lebih boros menggunakan air.

            Musim kemarau menyebabkan sebagian masyarakat di daerah tertentu selalu kekurangan air. Media  cetak dan elektronika selalu melaporkan betapa menderitanya masyarakat yang kekurangan air tersebut. Di sinilah baru kita sadari betapa mahalnya air itu. Tanpa air makhluk hidup tidak dapat hidup nyaman. Namun demikian, kita tidak pernah memikirkan bagaimana melestarikan dan mengelola sumber air agar air di bumi ini tetap dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

            Bermain di sungai saat masih kecil sangat mengasyikkan. Air sungai begitu jernih, berbagai ikan berenangan dan bergeleparan dengan leluasa. Saat   pulang   sekolah (SD) penulis selalu membawa irik atau rege wadah berlubang dari anyaman bambu menuju rolak (pintu air) dekat rumah bersama beberapa teman.

Menadahkan alat itu di pintu air, pasti pulang membawa ikan wader yang cukup digoreng sebagai lauk seluruh anggota keluarga. Sekarang? Sungai di sebelah rumah berwarna hitam pekat dan berbau. Sampah menumpuk di sepanjang aliran. Masyarakat dari tempat lain pun sengaja datang dengan mengendarai sepeda motor bahkan mobil  hanya untuk membuang sampah di sungai itu. Tak ada beda dengan tempat pembuangan sampah!

            Masa kecil penulis, masyarakat memiliki tempat sampah dan tempat buangan air limbah rumah tangga yang lazim disebut juglangan dan peceren. Sampah akan dikelola sendiri. Demikian juga air limbah rumah tangga. Meski rumah kami dekat sungai, tak ada warga yang mengalirkan limbah rumah tangganya di sungai itu. Seolah-olah ada semacam konvensi untuk memelihara sungai tetap jernih. Dengan arif orang tua menyiasatinya sehingga alam tetap lestari.

Peceren sebagai penampung air limbah rumah tangga itu berukuran panjang, lebar, tinggi sekitar satu meter, dikelilingi sereh, tanaman rimpang lain, dan ditebari bibit lele. Secara berkala, lele itu pun dipanen untuk mencukupi gizi keluarga. Orang tua kita ternyata telah mengolah limbahnya secara bijak! Sereh itu ternyata pengusir nyamuk hingga peceren tidak menjadi sarang nyamuk. Walhasil, sungai di dekat rumah pun tetap jernih, mengalir tanpa limbah rumah tangga apalagi limbah industri.

Sungguh sangat berbeda dengan masa sekarang. Rumah-rumah penduduk dengan luas tanah yang relatif kecil tanpa sanitasi dan pengolahan limbah rumah tangga. Apalagi terpikir untuk memiliki sumur resapan yang melestarikan mata air dan sumber air. Bahkan, segala macam limbah baik limbah rumah tangga maupun industri dialirkan ke sungai. Sampah  sekalipun. Masyarakat yang konon kian pandai malah tidak dapat membedakan antara sungai dan tempat sampah! Tak pelak jika tak ada sungai sejernih sungai masa lalu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline