Bumbu Instan
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Zaman sekarang semua serbamudah. Jika empat dasawarsa lalu untuk menanak nasi (eh, ... mestinya menanak beras, kan?) begitu ribet, sekarang tidak lagi. Zaman dahulu, menanak nasi dilakukan dengan paling tidak dalam tiga periode. Pertama, nasi harus dikaru dulu, dimasak setengah matang dengan cara dikukus. Kemudian diletakkan di panci lain, diberi air, dan dimasak. Jika sudah beberapa saat, air sudah hampir habis, diangkat. Tahap berikutnya ditapung, dikukus untuk kedua kali pada sebuah kukusan anyaman bambu yang telah diletakkan di atas dandang.
Pekerjaan ini membutuhkan waktu hampir sekitar dua jam. Itupun tidak dapat ditinggal untuk melakukan hal lain. Bisa gosong atau sangit nasinya. Sementara, sekarang begitu mudahnya. Ada rice cooker dan sekalian magic jar-nya. Tinggal isi beras dan air di tempat yang telah disediakan dengan ukuran tertentu, pijit tombol, tunggu barang satu jam, beres deh! Bisa ditinggal melakukan kegiatan lain pula. Nasi sudah jadi, langsung hangat sampai sore! Begitu mudah hingga anak-anak pun bisa melakukannya.
Demikian juga dengan urusan memasak. Ibu-ibu dan remaja putri tidak perlu lagi repot dengan layah dan uleg-uleg karena semua jenis bumbu sudah ada. Tinggal pilih mau bumbu apa semua ada terpajang di swalayan. Tidak lagi repot menghafal 'rumus' bumbu. Misalnya saja hendak menggoreng tempe. Kan sudah ada bumbu instan, misalnya bumbu Racik? Tidak perlu lagi mengupas bawang putih, ketumbar, garam, kunyit, dan daun jeruk purut kemudian dengan ukuran harus pas diuleg di layah.
Wah, ... ribet dan kelamaan! Dengan sesendok bumbu instan yang diletakkan di piring, ditambah (jika mau) tepung bumbu, dan air secukupnya. Lalu tempe yang sudah dipotong dilumuri bumbu itu, selesailah sudah. Tinggal menggorengnya saja. Praktis, ekonomis, dan higienis! Apalagi bumbu instan berbagai merek itu juga menyediakan segala jenis bumbu masakan. Seperti tumis, sayur sop, sayur asem, dan sebagainya. Hmm, ... pekerjaan ibu di dapur sangat terbantu. Bahkan, para gadis remaja putri dan juga (mungkin) para bapak pun dapat melakukannya sendiri jika keadaan darurat ataupun terpaksa.
Sebagai seorang karyawati, penulis pun sangat bersyukur dan merasa beruntung dengan adanya aneka bumbu instan yang lebih praktis dan ekonomis itu. Waktu yang terasa sempit karena bekerja di dua tempat berbeda, dapat teratasi dengan adanya bumbu-bumbu instan ini. Cepat, mudah, dan rasa pun bisa diandalkan alias tidak mengecewakan.
Akan tetapi, jika para remaja putri sudah 'dicekoki' dengan bumbu instan dan sang bunda tidak lagi mengajarkan memasak dengan bumbu alami dan fresh, bisa jadi generasi muda kita tidak bisa memasak sama sekali. Artinya, kalaupun bisa, mereka hanya mengandalkan bumbu instan belaka.
Penulis pernah mencoba bertanya kepada beberapa siswa di sekolah tempat penulis berdinas, apakah mereka bisa memasak masakan yang paling mudah, sayur sup misalnya. Beberapa siswa tersebut tidak semuanya menjawab dengan benar. Membuat petunjuk meracik bumbu untuk menggoreng tempe (dalam pelajaran bahasa Indonesia) pun kelas 8 SMP ada yang tidak mampu mendeskripsikannya. Artinya, mungkin si anak tidak pernah menggoreng tempe dengan bumbu noninstan. Bumbu tumis, apalagi soto, mereka pun menggeleng. Artinya, sang bunda tidak pernah mengajak putrinya memasak bareng dan mengajarkan racikan bumbu secara alami dan fresh.
Pelajaran tata boga di sekolah, menurut hemat penulis sangatlah penting. Sejak SD seyogyanya disisipkan pelajaran masak-memasak ini. Apalagi karena di SD masih ada ekstrakurikuler Pramuka dengan Persami-nya. Siswa SD diajak memasak (asal bukan mi instan) di tenda pada saat berkemah agar mereka mengenal bumbu aneka masakan khas daerah masing-masing.
Malahan, kalau perlu diperlombakan. Tentu para siswa akan meminta bundanya mengajarkan kepadanya memasak tanpa bumbu instan. Jika hal ini dilakukan, generasi kita kelak akan tetap mahir masak-memasak secara alami sebagaimana nenek moyang kita dahulu. Dengan demikian aneka masakan khas kita tidak akan hilang apalagi di-klaim negara lain.