Lihat ke Halaman Asli

Ninik Sirtufi Rahayu

Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku tunggal 29 judul, antologi berbagai genre 169 judul.

Pupus yang Meranggas

Diperbarui: 6 April 2024   22:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pupus yang Meranggas

Oleh: Ninik Sirtupi Rahayu

Dalam rangka mengantisipasi global warning dan efek rumah kaca, setiap insan Indonesia harus bersegera mengubah perilaku statis menjadi dinamis. Artinya, jika semula cuek bebek, sejak sekarang sudah harus memikirkan bagaimana atau apa yang dilakukan untuk mencegah efek rumah kaca dan pemanasan global ini. Bukan hanya pemerintah, pihak swasta, LSM, melainkan orang per orang. Harus dan wajib!

Dalam skala kecil, kita telah melakukan penghijauan di rumah kita. Penulis bangga jika semua keluarga memprakarsai penanaman bunga pot, buah pot, atau toga pot. Penanaman  aneka tanaman tersebut memiliki makna ganda. Indahnya  -- entah  melalui aneka bentuk, ukuran, dan warna daun, bunga, maupun buahnya -- dapat kita nikmati, hasilnya dapat petik, dan bahkan kita perjualbelikan. Pasokan oksigen pun terpenuhi. Dedaunan tanaman itu selain pemasok oksigen juga merupakan filter cerdas alami yang mampu mengatasi polutan udara. Aduhai ... ngedap-edapi  kan karya ilahi itu?

Tidak  hanya di lingkungan rumah tangga, di kantor-kantor pun demikian. Sekolah juga memperoleh pembagian jatah berbagai tanaman kayu keras seperti 'setekan' pohon kayu putih, kemiri, mangga, dan lain-lain. Berbagai tanaman keras tersebut segera ditanam oleh petugas. Namun, sayangnya tidak dibarengi dengan pemberitahuan dan larangan bagi siswa untuk tidak melakukan kekerasan terhadap tanaman 'baru' tersebut. Yang penulis saksikan dan sesalkan setiap hari banyak 'tangan jail' siswa (entah sengaja, cuma iseng, atau semacam ketidakpahaman) yang mengoyakkan lembar-lembar daun si tanaman. Pupus yang baru tumbuh dengan susah payah (karena setiap hari tukang kebun merawatnya) itu hari ini muncul esok pagi sudah koyak, meranggas, atau tiada berbekas.

Melalui mata pelajaran yang penulis ampu, hampir setiap hari penulis juweh memberitahukan baik secara langsung maupun melalui dongeng betapa tanaman juga berhak mendapat perawatan, perlindungan, dan kasih sayang sebagaimana manusia membutuhkannya. Namun, sejuta kata dan cerita itu menguap bagai iklan almarhum Basuki tentang Antangin JRG ..... wes..ewes...ewes... bablas angine.

Andai budaya 'sayang tanaman' ini ditumbuhkembangkan sejak di lingkungan keluarga, tentulah akan kita peroleh generasi muda yang sayang akan tanaman. Saat balita hingga masa bersekolah di TK, orang tua dan orang dewasa di sekitar anak berusaha menanamkan pemahaman pentingnya mengayomi tanaman. Kemudian, di lingkungan sekolah secara sinergis para pendidik menambahkan pemahaman secara teoretis dan praktis perlunya hidup berdampingan dengan tanaman dan melatih jiwa 'sayang tanaman' melalui intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Masyarakat pun memberlakukan prinsip 'sayang tanaman' dengan melibatkan anak-anak berperan aktif dalam bekerja bakti menciptakan lingkungan hijau.

Dalam hal ini masyarakat Bali perlu diteladani. Melalui filosofi agamanya ditekankan  bahwa manusia harus hidup berdampingan dengan hewan dan tanaman karena saling membutuhkan. Tidak  heran jika setiap keluarga pasti memiliki hewan piaraan dan aneka tanaman bunga (untuk keperluan ibadah).

Andai para orang tua mengajak putra-putrinya menyayangi tanaman apa pun yang mereka jumpai di mana pun, tanaman itu akan lestari. Melalui dongeng sebelum tidur, melalui dialog dalam setiap berinteraksi, bahkan saat berekreasi ditekankan bahwa kita sangat membutuhkan kehadiran tanaman sebagai pabrik pemasok oksigen dan penyaring udara. Jika hal ini kita lakukan, penulis yakin tidak ada lagi 'tangan jail' yang iseng mencederai daun, bunga, atau bagian lain dari tanaman sehingga menghambat pertumbuhannya. Dengan demikian, kelak tidak akan pernah lagi kita dengar ada orang yang karena iming-iming tertentu sengaja meracuni dan membunuh tanaman di tepi trotoar jalan (yang sengaja ditanam) sebagai jalur hijau.

Jika 'pupus-pupus muda' dalam artian generasi muda kita sudah memiliki pemahaman tentang manfaat ganda pepohonan, 'pupus-pupus muda' yang sesungguhnya, yakni dedaunan pepohonan yang ada di sekitar kita pun akan bertumbuh dan berkembang dengan pesat dan pada gilirannya akan menghijaukan dunia kita. Dengan hijaunya alam kita, pastilah efek rumah kaca dan pemanasan global pun dapat diatasi bersama-sama. Nah..., akankah kita biarkan pupus-pupus muda itu  meranggas?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline