Membumikan Budaya Antre
Ninik Sirtufi Rahayu
Duka menyelimuti keluarga Joni Malela (45) penyandang tunanetra dari Garut, Jawa Barat yang meninggal berdesakan saat silaturahmi di Istana Negara beberapa tahun silam. Seorang tunanetra yang ingin sungkem dan mendapat 'sedikit' berkat lebaran terpaksa menghembuskan napas penghabisan. Berkah yang didamba, malang yang diterima.
Masih teringat pula betapa tragis nasib yang dialami para pemburu sedekah di beberapa kota tahun lalu. Mereka yang berangkat mendamba derma, ternyata harus kehilangan nyawa. Semua itu terjadi karena membludaknya pemburu derma yang tidak dibarengi dengan rasa kesabaran dan kesadaran untuk antre secara tertib. Semua ingin serba instan, serba mudah, dan serba cepat.
Budaya antre pernah ditayangkan televisi melalui visualisasi barisan itik yang tidak bersuara, "Week...week," tetapi diubah dengan, " Antre...antre...!" Rupanya kita sebagai manusia 'kalah' dengan kawanan itik yang sedikit lebih dapat diatur, mampu berbaris rapi, dan antre dengan sabar tanpa terburu-buru.
Iklan yang cukup menggelitik dan tidak terkesan melecehkan tersebut sebenarnya merupakan parodi jitu untuk mengingatkan manusia pentingnya kesabaran dalam barisan atau antrean demi keselamatan bersama. Mungkin untuk sekadar mengingatkannya, pihak televisi perlu menayang ulang agar kita sebagai makhluk paling sempurna ini sedikit memiliki rasa sadar diri untuk berintrospeksi dan berbagi.
Budaya antre masih dapat kita nikmati di kantor-kantor yang memberlakukan penomorurutan bagi pengguna jasa, misalnya di kantor telekomunikasi, bank, ataupun rumah-rumah sakit. Dengan penomoran antrean tersebut mau tidak mau para pengguna jasa harus bersabar menunggu giliran.
Namun, di luar hal itu secara umum budaya antre tersebut kini kian pudar. Tengok saja di jalan raya. Pengendara sepeda motor dengan tidak sabar berkelit ke kanan, bermanuver ke kiri agar dapat melewati halangan berbagai pengendara di depannya. Termasuk memotong jalur jalan pengendara lain (roda empat) di depan atau di sampingnya. Dengan berkelak-kelok atau zig-zag semacam itu mereka berharap cepat sampai tujuan. Padahal, tradisi bersepeda motor ala tarzan seperti itu menakutkan, bahkan membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Sepeda motor sebagai moda transportasi murah meriah memang sedang digandrungi dalam rangka menekan dana mudik seperti saat sekarang. Namun, sebagai sesama pengguna jalan raya yang praktis lebarnya tidak bertambah, para pengendara sepeda motor perlu lebih teratur, tidak seenak perut menyerobot atau menyelonong pada jalur pengendara lain. Arah berkendara yang tidak stabil, menyalib, menyelonong, menyerobot, dan zig-zag seperti itu memicu timbulnya laka lantas yang sebenarnya harus diupayakan dan dihindari oleh semua pengguna jalan.
Kemudahan memiliki sepeda motor dengan cicilan terjangkau seharusnya dibarengi dengan kepedulian terhadap sesama pengendara dan kehati-hatian yang istimewa, mengingat lebar sarana jalan yang tidak bertambah dan keharusan berbagi dengan moda transportasi lain yang lebih nyaman dibanding sepeda motor.