Pura-pura Lupa
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
"Dik, aku sayang banget padamu ... tapi ...," bisiknya tertahan.
"Ya, aku tahu. Aku memang tak layak menjadi pendampingmu!" sahutku agak kesal.
"Maafkan aku ya ...," pandang netranya menembus jantung dan aku hanya bisa mengangguk pelan.
Sejak pertemuan terakhir itu aku harus tahu diri. Aku harus mundur teratur sebab dia tidak memperjuangkanku di hadapan keluarganya. Apa boleh buat. Biarlah aku mengalah. Kalau berurusan dengan masalah orang tua, jujur ... aku tidak punya pilihan lain, selain harus merelakan dan melupakannya.
"Aku tahu, Mas. Cinta saja memang tidak cukup untuk bisa hidup bersama dalam mahligai rumah tangga. Biarlah aku mengalah membawa hatiku yang terbelah. Biarlah kuniatkan menjalani kelanjutan hidupku tanpamu seperti dahulu sebelum mengenalmu!" senandikaku sambil melangkah menuju tempat indekos. Meninggalkan Mas Yus yang masih belum beranjak dari bangku taman kampus selatan yang mulai temaram. Senja telah turun sementara lampu belum dinyalakan petugas.
Sambil melangkah gontai, otak ini berputar-putar ke masa silam. Sementara, warna jingga swastamita yang tadi begitu memesona mulai memburam, kelabu menuju hitam. Satu dua lampu rumah di jalanan kecil yang kususuri baru dinyalakan sebab senja mulai menghitam. Kelam pun mulai turun.
Mungkin ini karma setelah aku memutuskan meninggalkan seseorang yang sudah sangat berbaik hati kepadaku semenjak pertunangan sepihak dua tahun silam. Ya, sejak usiaku masih tujuh belas tahun, aku sudah dipertunangkan dengan sahabat baik guru biologiku di sekolah lanjutan atas.
Pertemuanku dengan Mas Kun, seseorang yang dipertunangkan denganku, saat aku membantu tim dekorasi janur untuk membuat kuade pernikahan salah seorang guruku. Mas Kun, teman baik guruku tersebut. Dia jatuh cinta kepadaku dan langsung mengutarakan niatnya untuk melamarku tak lama setelah acara pernikahan guruku selesai. Gerak cepat. Sementara, kakek nenek pengasuhku menyetujui karena alasan biaya hidup dan biaya pendidikanku. Mereka sama sekali tidak menanyakan bagaimana perasaanku.
Mungkin saja penolakan kedua orang tua Mas Yus itu karmaku. Akan tetapi, sejujurnya memang pertunangan dengan Mas Kun itu bukanlah atas kemauanku. Pertunangan terpaksa, tepatnya. Aku memang tidak mencintai dan menginginkan pertunangan itu. Maka, ketika aku tidak diizinkan melanjutkan kuliah sebagaimana kesepakatan sebelumnya, tentu saja aku gendro, melawan arus untuk membatalkan pertunangan tersebut. Sebenarnya bukan membatalkan, melainkan tepatnya meminta menunda pernikahan karena berbagai alasan. Satu di antaranya aku ingin melanjutkan kuliah, selain memang belum bisa memasak.