Lihat ke Halaman Asli

Ninik Karalo

Pendidik berhati mulia

Secuil Kisah tentang Gaun Idaman dan Rumah Impian

Diperbarui: 8 Juli 2020   01:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

anantabatik.com

Waktu itu, Beatrix dan Ziezel hampir saja terlambat. Hitungan detik mereka berdua bisa saja kehilangan moment penting. Itu berarti sia-sia perjuangan selama dua tahun. Sudah merambahnya dengan segala daya-upaya, serta etos giat yang tanpa kata lelah, terus harus menjadi percuma? 

Mereka berlari kencang. Padahal mereka menggunakan pakaian yang rada lembut. Seharusnya lembut juga jalannya. Mereka berburu waktu seolah bom waktu segera meledak.

Beatrix berlari tanpa sepatu. Ia memegang sepatunya, membiarkan menggelantung di sela jemari, agar sepasang kakinya leluasa turun naik. Ya, turun naik untuk terus terayun. Langkahnya panjang-panjang. Sementara Ziezel tetap memaksakan diri untuk berlari dengan high heels berukuran 15 cm. 

Nampak ia merintih kesakitan dalam balutan sepatu setara dengan harga emas tiga gram sesuai harga saat itu. Kalau begitu berapa ya? Hmm...

Hiruk-pikuk para sanak, kerabat, bahkan orang-orang yang tak mereka kenal pun menatap iba ke arah keduanya, namun tak dihiraukan.

Dan, apa yang terjadi? Tepat di depan pintu, pintu terbuka. Seorang lelaki berbaju biru navy sedang menenteng kursi berdiri pas di tengah pintu. Beatrix dan Ziezel sudah memasang gaya memohon-mohon dengan melipat tangan seolah sedang berdoa. Mulut lelaki itu komat-kamit. Ia menjelaskan apa yang seharusnya berlaku.  

Akhirnya mereka lolos, dapat masuk. Beruntung masih diperkenankan. Beberap mahasiswa juga masuk. Terlihat beberapa kursi juga disingkirkan. Yang artinya yang punya kursi tak diperkenankan masuk alias... TERLAMBAT!

Kursi-kursi itu dikeluarkan. Diangkat oleh beberapa orang lelaki berbody kekar, juga berseragam biru navy. Benda yang bakal menjadi saksi bagi siapa yang mendudukinya adalah dia yang memenuhi syarat dan berhak mengikuti acara wisuda. Salah satu syarat untuk mendapatkan ijazah ketika itu.

Dari balik kaca tebal tembus pandang terlihat beberapa mahasiswi cantik berkebaya ala Ane Avanti dengan polesan make-up bak boneka barbie berdiri sambil ngos-ngosn, persis di depan pintu. 

Pintu sudah tertutup rapat. Sudah terkunci pula. Ada senyum hambar di wajah-wajah itu. Ada air mata menggenangi mata-mata bereye-shadow itu.  Mereka masih berharap ada mujizat yang akan datang menghampiri. Hingga beberapa menit, tak jua mujizat itu datang.

Sudah menjadi komitmen bersama jika terlambat maka tiada maaf bagimu. Sempat keluar dari bibir Beatrix dan Ziezel lewat perbincangan singkat saat dua perempuan itu melangkah menuju kursi mereka. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline