Lihat ke Halaman Asli

Ninid Alfatih

ibu 3 anak

Agora: Akar Kekerasan, Berawal dari Mana?

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

catatan bedah film Agora di komunitas Staramuda, Jombang.

Staramuda adalah komunitas anak-anak muda lintas iman di Jombang yang disuport oleh  Lakpesdam danPrasasti, komunitas Lintas Iman dan Etnis di Jombang.

Komunitas ini punya banyak dinamika. Salah satunya adalah diskusi film. Bersyukur saya berkesempatan untuk menjadi bagian dari dinamika itu dalam sebuah diskusi film Agora bersama Romo Timotheus Siga.

Dan ini adalah catatan saya dalam diskusi itu. Thanks to Romo Siga atas kelengkapannya..


Bagi saya terus terang tak cukup sekali lihat slide untuk bisa langsung mencerna isi film, ketika bukan dikonsumsi sendiri. Meski sebenarnya saya penikmat film klasik . Ada konteks sejarah yg harus dirunut beberapa abad silam. Saat dimana Eropa masih didominasi peradaban Yunani dan Romawi, bahkan Helenis. Kalau dilihat dari setting waktunya, kisah ini terjadi pasca penaklukan Alexander Agung. Raja yang menaklukkan sekaligus mengawinkan peradaban Timur yang diwakili Persia dan Mesir serta Barat yang direpresantikan oleh Yunani dan Romawi.

Seting historis ini terjadi pada akhir peradaban Yunani dan Romawi dan mulai munculnya Kristen secara dominan setelah dijadikan sebagai agama negara oleh Konstantin. Bisa jadi itulah masa akhir filsafat sebagai ideologi kaum pagan, penganut polyteis Yunani.

Yang menarik disini adalah suasana egaliter dan demokratis yang ditampakkan dalam dialog intelektual antara seorang filosof perempuan, Hypatia dan mahasiswanya yang semuanya laki-laki di sebuah forum yang kelak menjadi titel film ini, Agora.

Sepertinya paradoks. Seorang perempuan yang hidup di dunia intelektual yang didominasi laki-laki. Namun kesetiaan Hypatia pada ilmu pengetahuan, melenyapkan anggapan subordinat seorang perempuan. Hypatia sangat konsisten mendalami eksistensinya sebagai seorang filosof. Tak ada waktu, kecuali hanya mengisinya dengan pertanyaan tentang fenomena alam. Berusaha keras untuk mendapatkan jawaban dari keraguannya. Bahkan memikirkan kehidupan pribadinya saja, Hypatea tak sempat. Meski ada beberapa lelaki yang menawarkan cinta mendalam, dia menampiknya. Seperti Orestes, mahasiswanya, dan Davus, budak lelakinya. Dua-duanya punya peranan penting dalam akhir kisah hidup Hypatea dalam kemasan perasaan cinta yang mendalam.

Apa karena konsistensinya terhadap sains dan keteguhannya dalam peran filosofisnya, dia melupakan cinta? Sesuatu yang mestinya menjadi energi bagi perjuangan Hypatea, justru tak mendapat tempat dalam film ini. Dus, apakah karena ini jugakah dia mendapat penghormatan dari para laki-laki yang menjadi muridnya? Hypatea is untouchable. Tak tersentuh. Dengan demikian dia sangat rasional dan diagungkan oleh kaum patriarchal. Justru pada sebuah masa, dimana perempuan menjadi representasi keindahan secara fisically dan artifisial. Bukan isi kepalanya.

Namun seperti halnya yang dialami Copernicus, Galileo atau Ibnu Rusyd maupun Imam ibnu Hambal, kebanyakan orang yang konsisten di jalur pemikiran harus berhadapan dengan hegemoni kekuasaan. Demi teorinya, Hypatea harus berseberangan dengan doktrin gereja.Konsistensi Hypatea ditunjukkan pada penolakannya untuk dibaptis, dan tetap memilih filsafat sebagai imannya. Bisa diduga hal ini menjadi bibit perseteruan Hypatea dengan kekuasaan gereja yang merasa dirongrong kewibawannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline