Melanjutkan liburan hari Minggu yang santuy, saya dan kakak saya memutuskan untuk beli makan malam ke food-fest di depan perumahan. Makanan kami dibungkus untuk selanjutnya disantap di rumah, karena makan di tempat di hari libur begini terlalu crowded.
Menunggu sejenak, kemudian orderan kami pun selesai. Tanpa harus nunggu diusir kasir, kami pun langsung melipir ke pintu keluar. Langkah pertama kami menginjakkan kaki di tanah parkiran, kami disambut oleh rintik hujan. Tidak khawatir dong, kami justru saling mengucap kalimat syukur atasnya--setidaknya itu menurut kami hahahaha.
"Hai, hujan," seru saya. "Gak perlu malu-malu turun serintik dua rintik, langsung saja serentak duar! Biar basah semua tanah, tumbuhan, dan sumur kami. Jangan malu-malu begitu."
Kakak saya turut mengamini seruan saya. Tapi hujan masih saja belum tergoda. Kami pun pulang menerobos biasa saja. Pengendara Minggu malam yang lain pun tampak biasa saja, sampai tiba-tiba...
Negara Air menyerang!
"Wah, hujan beneran nih."
Tanpa kakak saya bernarasi pun saya tau hujan mulai agak menderas. Tapi itu masih skala yang standar sih. Cukup untuk memberi komentar: "Sial! Harusnya tadi doanya pas udah sampai di rumah aja, bukan pas masih di jalan begini. Bisa basah semua, termasuk calon bekal makan malam kami."
Well, saya cuma komentar di dalam hati aja sih. Curiga saya, Tuhan masih memberi cuti kerja yang lumayan lama kepada Dewa Hujan--entah sampai kapan.
Nyinyiran Seruan saya barusan ternyata dibalas langsung oleh Dewa Hujan. Bukannya memberikan air yang cukup bagi kehidupan kami yang kerontang, dia malah menghentikan tetesan air dari langit. Jalanan di depan kembali kering. Duhai, sampai kapan kiranya kami harus was-was dengan persediaan air di sumur kami?
"Mungkin Dewa Hujan kaget," kata kakak beropini. "Dewa Hujan menurunkan sedikit air, orang-orang bersorak kencang menengadah ke langit, kan bikin kaget. Karena kesal, akhirnya dia malah gak jadi nurunin hujan deh."
Dohadoh, dewa kok ambekan dan kagetan sih? Wkwkwk.