Lihat ke Halaman Asli

Ning Ayu

Pengawas SMP Kabupaten Bogor

Salahkah Pelakor?

Diperbarui: 28 Februari 2018   13:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir-akhir ini kata "pelakor" menjadi trending topik di medsos setelah di unggahnya video bu Dendi yang nyawer puluhan juta kepada temannya sendiri yang dianggap pelakor. Kemarin pun saya diminta menjadi saksi ahli bahasa dalam persidangan pencemaran nama baik oleh pihak kepolisian ditempat saya tinggal dengan istilah yang hampir sama dengan pelakor yakni kata "pelacur dan ngetot".

Pelakor sebenarnya merupakan bahasa yang digunakan oleh kalangan tertentu yang merupakan akronim dari perebut laki orang. Dilihat dari jenis katanya pelakor termasuk kata benda yang merujuk pada orang ( perempuan) dan diartikan orang yang merebut suami orang, sadang perbuatannya diakronimkan "melakor" atau merebut laki orang merupakan kata kerja.

Dalam istilah pelakor yang aktif adalah si perempuan, lain halnya dengan istilah WIL " wanita idaman lain" yang beberapa tahun lalu juga pernah menjadi trending topik. Bedanya dengan pelakor, kalau WIL  si perempuan hanya sebagai objek, tidak agresif sedang pelakor si perempuan sebagai subjek dan terkesan agresif atau si perempuan sebagai perebut.

Lantas apa bedanya pelakor dengan pelacur?? Secara morfologis pelakor hampir mirip dengan pelacur dari suku kata pe-la-kor/cur. Kor dan cur mempunyai penandaan pelafalan yang sangat dekat, seperti kita juga sering mendengar orang melafalkan Rabu dengan Rabo. Melihat konteks morfologis tersebut dapat dikatakan pelakor merupakan plesetan dari pelacur (mirip) meskipun tidak sama.

Pelacur adalah istilah yang merujuk pada orang "perempuan/wanita" dan yang menjadi sasaran adalah  para lelaki yang kemungkinan  besar juga para suami. Pelakor juga demikian yang menjadi sasaran juga para lelaki. Bedanya, kalau Pelacur itu bisa berganti target dalam seketika dan tidak terikat, sementara pelakor biasanya terikat dan bisa menjadi istri.

Pelacur itu sendiri juga merupakan akronim dari "pelayan curhat"dan dapat diartikan orang (perempuan) sebagai pekerja seks komersial (jenis kata benda) dan bisa diartikan orang (bisa perempuan/kaki2) yang menerima curhatan dari orang lain (orang yang curhat bisa perempuan juga bisa laki-laki). Kedua arti tersebut tentunya kita bedakan dalam konteks berbahasa. Karena bahasa itu sendiri bersifat universal, konvensional, dan arbitrer.

Kedua kata tersebut mulanya muncul sebagai ungkapan kekesalan atau umpatan kepada orang lain seperti halnya kata "ngetot" yang hampir memiliki arti sama. Kata-kata tersebut sepanjang pengetahuan saya belum dibakukan dalam bahasa Indonesia (KUBI).

Kembali pada kata pekakor, apa selalu sebagai subjek yang disalahkan?? Jangan-jangan nanti muncul kata "pebinor" dari kalangan para kaum Adam sebagai tandingan kata pelakor yang diartikan perebut bini orang dengan padanan labinor "lelaki perebut bini orang".

Wahhh..... Itulah bahasa Indonesia kaya akan makna sejuta rasa. Baik pelakor atau pun labinor mari kita introspeksi kita yang salah karena tak bisa menjaga atau mereka para pelakor dan labinor yang salah. Jawaban silahkan disimpan sendiri atau tulis di komentar ini . Terimakasih semoga aktivitas hari ini bernilai ibadah.

2018 pkl 08.30 yayi. ningayu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline