Lihat ke Halaman Asli

Megawati Sewot Ingin Reshuffle, Tapi Jokowi Cuma Evaluasi

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14287899841358830083

[caption id="attachment_409452" align="aligncenter" width="630" caption="nasional.kompas.com"][/caption]

Megawati memberikan pesan kuat kepada Jokowi, bahwa keinginan PDIP seperti ada yang tidak dilaksanakan oleh Pemerintah. Apakah keinginan itu, sehingga Mega dengan suara menggelegar di kongres mengatakan ada penumpang gelap dan menyalip ditikungan.

Sebagai masyarakat biasa, maka wajar berasumsi/beropini bahwa Megawati(PDIP) ingin sekali Presiden melakukan perombakan kabinet, yang menurut mereka sudah tidak sejalan dengan Nawacita dan prinsip Trisakti yang menjadi landasan ideologi partai moncong putih.

Entah apa dan kenapanya Pemerintah seperti yang tidak menggubris keinginan Megawati(PDIP) tersebut, sehingga muncul juga asumsi/opini bahwa reshuffle tidak dilakukan oleh Presiden Jokowi, dikarenakan tidak bisa jika hanya sekedar berlandaskan like or dislike para partai pendukung, utamanya PDIP yang mencalonkan.

Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi sangat benar dan tepat, karena mengganti pembantu Presiden jangan dikarenakan mengikuti suara hawa nafsu seperti jengkel, kesal, tidak patuh, dan lain-lain. Sehingga pada posisi itu, Jokowi menempatkan diri sebagai negarawan bukan sebagai petugas partai yang didengungkan Megawati.

Jokowi bukan tipikal pemimpin yang terburu-buru menentukan sikap, karena mengganti satu orang menteri berkaitan erat juga dengan sistem yang berjalan di kementrian yang bersangkutan. Apalagi melakukan hal itu dikarenakan pesanan partai pengusung, yang menempatkan kadernya di jajaran kabinet kerja.

Supaya lebih spesifik opini yang dikemukakan, misalnya PDIP ingin menarik dan mengganti sejumlah menteri yang dititipkan saat pemilihan kabinet kerja diantaranya Rini soemarno, Andi Widjyanto, Susi Pudjiastuti, Tjahyo Kumolo dan lain-lain. Maka Presiden Jokowi tidak serta merta bisa mengikuti kehendak itu, tanpa alasan yang kuat bersifat ketatanegaraan contohnya gagal melaksanakan program nasional yang dicanangkan.

Bayangkan bila sebuah bangsa dan negara diatur sedemikian rupa disebabkan arus emosional sesaat para politisi, apalagi mengandalkan kedekatan emosi dan hutang budi semasa pencalonan Pilpres 2014. Mau jadi apa Indonesia kedepannya? Apalagi jika kepentingan partai politik ditempatkan diatas kepentingan Republik Indonesia.

Megawati(PDIP) tidak bisa begitu saja memaksakan kehendak ideologi partainya untuk dianut seluruh rakyat Indonesia, hanya dengan beralasan kemenangan partai terbesar dan juga Presiden berasal dari kader mereka. Karena Seorang presiden juga harus bisa mengakomodir ideologi partai-partai lain menjadi sebuah kesatuan utuh yang dinamakan NKRI.

salah satu kesimpulan dari pidato Megawati pada kongres PDIP di bali ialah, Jokowi dikelilingi orang-orang yang ingin menjauhkannya dengan partai pengusung. Maka jika dibalikan pernyataan tersebut, siapakah yang membisikan Megawati sehingga terpancing untuk mengeluarkan unek-unek yang kurang elok di depan publik?

Megawati sering mengingatkan bahwa Presiden dalam kacamatanya tetap sebagai petugas partai, maka seharusnya Megawati yang notebene mantan Presiden, mengingatkan dirinya sendiri harus menempatkan porsi kapan bertindak sebagai Pemimpin partai dan kapan menempatkan diri sebagai seorang negarawan. Karena perpolitikan Indonesia tidak bisa hanya dilakukan/diserahkan kepada segelintir politisi, melainkan harus melibatkan seluruh elemen bangsa dan negara, utamanya elemen rakyat yang harus terus memantau perkembangan secara menyeluruh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline