Lihat ke Halaman Asli

Nindya Rahma

Mahasiswa Unversitas Airlangga

Menerima dan Diterima, di Jepang Disabilitas Bukan Penghalang

Diperbarui: 14 Oktober 2022   14:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Negara Jepang memiliki program jangka panjang baru untuk langkah-langkah pemerintah terkait dengan para penyandang cacat yang dirumuskan berdasarkan Undang-Undang Dasar untuk Orang-Orang Penyandang Cacat yang diberlakukan sejak 1993.

Satu dari setiap 20 penduduk di Jepang merupakan penyandang disabilitas, dari 127 juta penduduk, 3,5 juta orang merupakan penyandang disabilitas fisik (physically disabled), 2,5 juta mengidap mentally ill/penyakit mental seperti skizofrenia, alzeimer dan gangguan bipolar, dan 500 ribu mengalami mentally disabled, seperti misalnya Down Syndrome.

Jepang menciptakan masyarakat di mana kaum disabilitas memiliki hak dan perlakuan yang sama, serta peluang yang sama dan penentuan nasibnya sendiri, untuk berpartisipasi dan berbagi tanggung jawab bangsa. Filosofi yang melatarbelakanginya adalah, masyarakat yang inklusif di mana setiap orang menghormati perbedaan individu yang dimiliki dan saling mendukung.

Langkahnya adalah Pemerintah Jepang mengatur dalam Undang-Undang Dasar Penyandang Disabilitas. Ini bertujuan untuk memberikan layanan yang memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas di berbagai bidang seperti perawatan kesehatan, pensiun, bantuan sosial, pekerjaan dan pendidikan. Pemerintah Jepang juga ingin membangun masyarakat bebas hambatan dengan mengambil langkah-langkah komprehensif di semua bidang struktur sosial, transportasi, bangunan, aksesibilitas informasi dan berbagai sektor sosial.

Untuk mengakomodir penduduknya yang menyandang disabilitas, pemerintah Jepang membuat fasilitas-fasilitas khusus untuk memudahkan akses bagi mereka, seperti di elevator, toilet khusus serta tempat khusus di kendaraan umum seperti di kereta dan bus.

Bepergian dengan kereta api tidak selalu merupakan pilihan yang nyaman, terutama bagi penyandang disabilitas. Ini karena meskipun kereta lokal dapat diakses kursi roda, sulit bagi penyandang disabilitas untuk naik dan turun tanpa bantuan staf. Menghadapi masalah ini, salah satu perusahaan kereta api Jepang yakin telah menemukan solusi dengan memasan landai otomatis yang dapat menjembatani kesenjangan antara kereta api dan peron. Cara kerjanya yaitu saat kereta memasuki stasiun, sensor secara otomatis menyebarkan tanjakan, mengisi celah, dan membuat opsi tanjakan untuk pengguna kursi roda dan orang dengan kursi dorong, saat pintu kereta tertutup tanjkan tersebut secara otomatis akan turun kembli ke posisi semula.

Banyak ruas jalan di Jepang yang menyediakan jalur kuning bergerigi. Jalur ini adalah jalur untuk tunanetra sehingga mereka bisa mendapat petunjuk ke arah mana harus berjalan. Kemudian, untuk panel elevator pun difasilitasi dengan huruf braille. Sehingga mereka tetap dapat menggunakannya sekalipun sedang tidak diantar. Dalam elevator juga selalu ada cermin, tujuannya adalah agar para pengguna kursi roda bisa mundur saat akan keluar mengingat luas elevator sangat terbatas.

Pemerintah Jepang juga selalu menyediakan toilet khusus untuk kaum difabel yang ukurannya lebih luas dari toilet umum. Sehingga pengguna kursi roda juga bisa memakai toilet tersebut. Di tempat-tempat wisata juga selalu ada space bagi kaum difabel. Sehingga mereka yang tidak memiliki anggota tubuh sempurna juga bisa berwisata seperti manusia normal pada umumnya.

Di Jepang, semakin banyak pengguna simbol 'Help' bagi penyandang disabilitas atau penyakit yang membutuhkan bantuan di Jepang. Simbol ini merupakan proyek Pemerintah Metropolitan Tokyo sejak 10 tahun lalu namun baru terealisasi tahun ini. Label 'Help' biasanya ditempelkan pada tas dan barang bawaan lainnya. Kartu dengan simbol juga dibawa oleh mereka yang membutuhkan bantuan, dengan informasi seperti bantuan apa yang mereka butuhkan dan kontak darurat mereka tertulis di kartu. Dilansir dari JapanTimes, berdasarkan proposal dari anggota Majelis Metropolitan Tokyo dengan prostesis pinggul, simbol tersebut dibuat pada tahun 2012. Simbol ini menampilkan simbol plus putih dan gambar hati dengan latar belakang merah. Distribusi simbol gratis tersebut telah dimulai di 47 prefektur di negara itu pada Oktober tahun lalu.

Pemerintah Jepang baru-baru ini mengumumkan akan melanjutkan dan memperluas dukungan bagi anak-anak yang mengalami disabilitas akibat kecelakaan lalu lintas. Hal lain yang melatarbelakangi adalah kondisi orang tua yang kesulitan merawat anak-anak dengan kondisi disabilitas. Maka Kementerian transportasi berencana akan menaikkan premi asuransi mobil wajib bagi pemilik kendaraan.

Menurut statistik pemerintah, ada 1.508 korban kecelakaan lalu lintas dengan disabilitas parah yang membutuhkan perawatan atau tidak dapat bekerja pada tahun 2020. Dilansir dari JapanTimes, jumlah kematian akibat kecelakaan lalu lintas pada tahun 2020 turun sekitar 70% dari tahun 2001, tetapi laju penurunan untuk korban dengan disabilitas parah pada periode yang sama jauh lebih lambat, sekitar 30%.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline