Senyuman ramah terpancar dari lelaki paruh baya seorang tukang becak, di depan Kantor Pos, di kawasan 0 km kota Yogyakarta.
Pagi itu, matahari masih tertutup oleh mendung seorang lelaki paruh baya duduk termenung di dalam becaknya menantikan calon penumpang. Tak lama ia pun keluar dari persinggahannya menawarkan diri untuk menghantarkan wisatawan menuju ke lokasi wisata di kawasan Malioboro dan sekitarnya. Celana pendek kolor berwarna hitam dan kaos putih yang mulai kusam itu melekat pada tubuhnya.
Saat dihampiri ia pun melemparkan senyuman dan menyapa sambil menawarkan ke sebuah objek wisata. Wagiyono adalah satu di antara banyaknya tukang becak di kawasan titik 0 km Yogyakarta, ia adalah salah satu tukang becak yang mencari penumpang di depan Kantor Pos. Sudah sejak tahun 1983 ia meraup rejeki sebagai tukang becak.
Bapak dari tiga anak ini selepas subuh segera bergegas meninggalkan rumahnya. Mengayuh sepeda onthel menembus dinginnya pagi ketika matahari pun sedang bergerak dari persembunyiannya. Fajar menyingsing menemani pria berusia 55 tahun memulai pergulatannya di hari yang baru. Membutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk menempuh jarak 13 km dari rumahnya menuju Gedongkiwo, Pojok Beteng Barat. Di tempat itulah ia menitipkan becak yang menamani peraduannya mengais rejeki di kota wisata Yogyakarta.
Sesudahnya ia mengambil becak penyambung hidupnya, berganti menginjakkan kaki di pedal becak. Setiap jam 06.00 pagi ia sudah bersiap menempatkan diri di depan kantor pos. Setiap paginya ia pasti sudah mendapatkan pelanggan seorang pedagang untuk diantarkan ke Pasar Beringharjo yang turun di dekat Alun-alun Utara.
Kantor Pos besar, Kantor Pos lama biasa orang menyebutnya atau Kantor Pos tertua di Yogyakarta ini letaknya berada dekat titik 0 km Yogyakarta. Tempat ini ia pilih karena menurutnya tempat ini dilewati banyak wisatawan. Profesi yang ia tekuni ini harus merelakan diri jauh dari rumah dengan hasil yang lebih banyak ketimbang di dekat rumahnya. Rasa bangga menyelimuti dirinya menjadi bagian istimewanya Yogyakarta. “Becak kan alat transportasi tradisional, khasnya Jogjakarta” tuturnya.
Penghasilan yang tak menentu sekitar Rp 20.000 – Rp 45.000 setiap harinya, sekali mengantarkan penumpang ke salah satu tempat wisata ia mendapat upah Rp 10.000. Kalau untuk pedagang pasar Beringharjo upah kayuhannya Rp 5.000. Ia masih harus membiayai anak bungsunya yang masih duduk di bangku SMK di daerah Bantul. Perekonomian keluarga yang pas-pasan ini juga yang mendorong semangatnya untuk masih bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Senyumannya merekah, keriput-keriput di wajahnya semakin terlihat jelas pada kedua matanya. “Saya memang wong cilik bayaran sedikit pun tetap disyukuri toh yang memberi juga Tuhan,” ungkap Wagiyono. Ia menambahkan berapapun hasilnya yang penting halal dan ini sudah rejekinya dari pergulatannya mencari sesuap nasi. Wagiyono membalikkan badan menunjuk becaknya yang dicat berwarna putih itu mengungkapkan walaupun jelek dan bisa dikatakan becak tua tetapi itu sudah menjadi miliknya.
Pukul 11.00 siang ia kembali ke rumahnya, untuk melepaskan lelahnya. Ia mengembalikan becak ke tempat penitipan. Di siang hari ketika matahari mulai tingginya di langit ia mengayuh sepeda onthelnya lagi kembali ke rumahnya. Sebelum pukul 12.00 ia sudah harus sampai di rumah membantu Painah istrinya yang juga membuka usaha grosiran sembako di desa. Ia mengaku kalau seharian atau sampai sore bekerja menarik becak tenaganya sudah tidak mampu, mengingat usianya yang sudah lebih dari setengah abad.
Di bawah mendungnya langit pagi itu, ia nampak bersemangat menceritakan setiap harinya memilih menginjakkan kaki di pedal sepeda onthelnya cukup Rp 5.000 untuk beli makan dan minum. Sedangkan jika ia naik bus atau angkutan umum lainnya membutuhkan uang minimal Rp 10.000 untuk pulang dan pergi belum lagi untuk makan dan minum rata-rata Rp 5.000. Baginya itu akan membuang uang istilahnya “habis di ongkos” dengan penghasilan yang tak menentu, lelaki itu tertawa dengan malu-malu. Naik sepeda onthel masih bisa menghemat biaya, pulang masih mengantongi uang untuk beli kebutuhan hari berikutnya.
Inilah mengapa kulitnya menjadi gelap karena tersengat oleh sinar matahari, pergulatannya melawan terik matahari menghantarkan penumpang dan perjalanannya pulang pergi mengayuh sepeda onthel. Bermodalkan kayuhan kakinya ia berhasil menyekolahkan tiga anaknya walau hanya di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tetapi dua anaknya sudah lulus dan kini mereka sudah bekerja. Putra sulungnya kini bekerja di Papua dan anak keduanya bekerja di salah satu toko elektronik di Yogyakarta.
Sekali lagi ia mengucapkan rasa syukurnya bisa menyekolahkan anak-anaknya. “Sedikit rejekinya tapi dibagi rata untuk kebutuhan sehari-hari dan membiayai sekolah anak-anak itu sudah membuat saya senang. Saya ndak mau anak-anak saya jadi pengangguran. Walau hanya bisa mbayari sekolah di SMK dan dua anak saya lulusan SMK, masih ada satu lagi anak saya yang bungsu tahun depan baru lulus” katanya bersemangat.
Mengutamakan keselamatan dan berhati-hati di sepanjang jalan selalu ia jaga di usianya yang tak lagi muda. Kalau menyeberang itu biasanya harus sangat berhati-hati, belum lagi membawa penumpang itu juga sebuah resiko. Terkadang para pengendara kendaraan bermotor yang tak sabar di jalan ingin mendahului, ia menyadari tenaganya yang hanyalah tenaga manusia bukan mesin.
Ia berharap diberi kesehatan dan keselamatan agar tetap mengayuh menginjakkan kakinya di atas pedal becaknya dan sepeda onthelnya yang berjasa untuk mencari nafkah keluarganya. “Yang penting diberi kecukupan, waras dan slamet” ujarnya penuh syukur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H