Lihat ke Halaman Asli

Nine Nindya

Sang Petualang Kata, Penjelajah Makna

Kini, Aku Mengerti Bu

Diperbarui: 15 Desember 2015   08:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Love You Mom"][/caption]
“Suatu saat kau akan mengerti, anakku…” begitu kata ibu ketika aku menanyakan pada ibu, mengapa aku mesti pergi ke dokter gigi untuk mencabut gigi susuku kala itu dan harus ijin sekolah. Padahal, kata teman-temanku, mereka mencabutnya sendiri di rumah. Pakai benang yang dijepit di pintu, dicabutin omnya atau kakeknya, atau dibiarkan tanggal sendiri. Kedengarannya seru walau agak mengerikan.  Tapi, tentu saja, pergi ke dokter gigi jelas lebih aman dan terpercaya, karena ia tentu saja lebih ahli dan berpengalaman. Begitulah, aku menurut saja ketika ibu beberapa kali mengajakku pergi ke dokter gigi untuk mencabut gigi susuku yang mulai goyah kala itu. Dan aku pun menjadi akrab dengan yang namanya dokter gigi di kala anak-anak seusiaku takut dan lari terbirit-birit ketika diajak berurusan dengan dokter gigi. Walapun begitu, aku tak pernah bercita-cita jadi dokter gigi karena menurutku itu pekerjaan yang tidak mengasyikkan dan aku pun sama sekali tak tertarik.

 

Setelah dewasa, kini aku paham, dan karenanya, aku semakin mencintai ibuku. Hasil pertemuanku dengan dokter gigi di kala aku masih kecil terpampang pada senyum manisku yang berhasil mememarken deretan gigi putih yang berbaris amat rapi. Disaat beberapa teman-temanku, setelah kuperhatikan, gigi mereka rata-rata tak begitu rapi sepertiku. Ada yang besar dan kecil, tak rata, saling tumpang tindih dan ada yang berwarna kekuningan atau kecoklatan bahkan aku pernah lihat gigi temanku yang menghitam bak gigi anak kecil usia balita yang kebanyakan makan permen. Melihat itu semua, diam-dim aku bersyukur pada ibuku yang begitu perhatiannya padaku, hingga soal masalah gigi. Oh, ibu… betapa sayangnya engkau padaku.

 

“Suatu saat kau akan mengerti, anakku,” kata ibu lirih saat menyuruhku untuk segera membereskan tempat tidur setelah bangun. “Minimal lipatlah selimutnya dulu dengan rapi,” kata ibu. Walau sedikit sebal dan terpaksa, aku pun tetap melakukannya.  membereskan tempa tidur setelah bangun. “Apa susahnya sih, melipat selimut sebentar, menata bantal dan guling baru keluar kamar. Anak perempuan itu harus belajar berbenah seketika itu juga saat ia membuka matanya di pagi hari, begitu pesan ibu padaku yang kudengarkan sambil lalu. “Janganlah memelihara kebiasaan yang jelek,” tambah ibu lagi. Aku hanya diam saja mendengarkan sambil beranjak ke belakang, bersiap mandi pagi.

 

Kini, aku mengerti dengan benar pesan ibu itu. Setelah tinggal jauh di perantauan, aku banyak melihat beberapa temanku yang meninggalkan tempat tidur mereka di pagi hari dalam keadaan acak adut alias sangat berantakan dan hal itu ternyata sangat tidak menarik disaksikan oleh mata. Kadang mereka pun lupa atau tergesa berangkat kuliah hingga status  kasur yang berantakan itu awet bertahta sampai sore, sampai si empunya pulang kuliah. Ya, itu memang kamar pribadi milik mereka, bagaimanapun keadaannya. Tapi, itu adalah hal yang nyata tampak di depan mata. Dan tentu saja, menurutku hal itu adalah karena kebiasaan yang telah mendarah dalam daging seperti yang sudah kurasakan tiap pagi bahwa ada sesuatu yang mengganjal kalau tak berbenah dulu sebelum meninggalkan tempat tidur. Diam-diam kembali aku bersyukur dalam hati atas didikan ibuku waktu aku kecil. Oh, ibu, betapa engkau sangat memperhatikanku…

 

“Suatu saat kau akan mengerti, anakku,” kata ibu saat aku menekuk wajah karena kesal sewaktu ibu mengajarkanku cata meletakkan sapu dengan benar. “Kalau tidak digantung, diletakkan terbalik biar ijuknya nggak cepet rusak dan susah buat nyapu,” begitu nasehat dari ibuku kala itu.

 

Kini, setelah aku dewasa, aku pun banyak menemukan dan melihat sendiri betapa masih banyak teman-temanku yang meletakan sapu dengan seenaknya saja. Akibatnya sapu jadi cepat rusak, dan tidak nyaman dipakai untuk menyapu. Kadang aku mencoba menasehati mereka dengan cara halus, agar sapunya diletakkan ditempat gantungan yang telah tersedia, atau diletakkan terbalik agar ijuknya tidak cepat rusak atau melengkung. Ada satu dua yang mengangguk mengiyakan, yang lain acuh saja. Dan akhirnya kebiasan lama pun kembali berulang. Hmm, memang susah ya kalau sudah menjadi kebiasaan.

 

Aku pun akhirnya belajar dari pengalaman, bahwa ternyata, hal-hal yang kelihatannya sepele itu perlu diajarkan sejak kecil, agar nantinya bisa menjadi kebiasaan yang baik di kala kita sudah dewasa.  Hal-hal sepele, yang terkadang tak diajarkan di bangku sekolah maupun kuliah, yang bisa menjadi cerminan pribadi yang baik dikala kita sudah dewasa kelak dan menjadikannya sebagai kebiasaan.

 

Aku sangat bersyukur mempunyai ibu yang perhatian terhadapa hal-hal sepele tapi terasa manfaatnya. Sebagai calon ibu nantinya, aku pun ingin mengikuti jejak ibuku mengajarkan hal-hal sepele sejak dini kepada anakku kelak agar menjadi kebiasaan yang baik bagi dirinya.

 

Terimakasih banyak ibu, kini aku mengerti….

 

Nine Nindya ♥

catatan hari ibu, 22 Des 2014

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline