Lihat ke Halaman Asli

Nindhi Acelia

Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Jember

Menghadapi Ketidakpasian Global Melalui Kebijakan Stabilitas Ekonomi di Indonesia yang Fleksibel

Diperbarui: 18 November 2024   13:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara Surabaya

Stabilitas perekonomian merupakan salah satu hal yang menjadi fokus utama setiap negara, mengingat dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh ketidakstabilan ekonomi, seperti tingginya inflasi, pengangguran, serta rendahnya pertumbuhan ekonomi. Salah satu alat utama yang digunakan oleh BI adalah pengaturan suku bunga. Penurunan suku bunga berpotensi untuk meningkatkan likuiditas dan mendorong aktivitas ekonomi, sementara kenaikan suku bunga bertujuan untuk mengendalikan inflasi dan menurunkan laju pertumbuhan yang terlalu cepat. Kedua pendekatan ini memiliki dampak yang berbeda tergantung pada tujuan kebijakan yang ingin dicapai. Namun, dalam konteks perekonomian Indonesia yang terbuka dan sangat dipengaruhi oleh arus global, kebijakan moneter yang diterapkan harus fleksibel untuk merespons tantangan eksternal, seperti krisis keuangan global.

Bank Indonesia telah melakukan penyesuaian terhadap kebijakan moneter dengan menerapkan kerangka Flexible Inflation Targeting Framework (Flexible ITF), yang memungkinkan bank sentral untuk lebih responsif terhadap gejolak pasar dan menjaga stabilitas keuangan dalam jangka panjang. Penerapan Flexible ITF ini sangat penting karena ia menggabungkan kebijakan moneter dengan kebijakan makroprudensial, yang bertujuan untuk memperkuat stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Dalam hal ini, pengelolaan suku bunga, pengawasan jumlah uang beredar, dan koordinasi dengan pemerintah dalam hal pengendalian inflasi menjadi kunci dalam memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Kerangka ini juga menekankan pentingnya komunikasi yang transparan antara Bank Indonesia dan publik untuk meningkatkan akuntabilitas serta memperkuat kepercayaan pasar terhadap kebijakan yang diterapkan.m  Namun, meskipun kebijakan moneter memainkan peran yang sangat besar dalam menjaga stabilitas ekonomi, tidak bisa dipungkiri bahwa pengaruh faktor eksternal---seperti ketegangan perdagangan global, perubahan harga komoditas, dan fluktuasi nilai tukar---seringkali memengaruhi kestabilan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, meskipun kebijakan moneter seperti penargetan inflasi dan penyesuaian suku bunga sangat efektif dalam menjaga kestabilan harga dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang, kebijakan ini harus diterapkan secara bijak dan fleksibel untuk merespons perubahan yang cepat dalam perekonomian global.

Kebijakan moneter memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga stabilitas ekonomi, dan salah satu alat utama yang digunakan oleh Bank Indonesia (BI) adalah suku bunga kebijakan, yang dalam hal ini merujuk pada BI-Rate. Sejak 19 Agustus 2016, Bank Indonesia memperkenalkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebagai suku bunga kebijakan untuk mengendalikan inflasi dan menunjukkan sinyal respons terhadap kondisi ekonomi. Meskipun nama kebijakan berubah pada Desember 2023 menjadi BI-Rate, tujuannya tetap sama: menjaga inflasi agar tetap rendah dan stabil demi mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Suku bunga kebijakan BI-Rate memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perekonomian. Penurunan suku bunga akan mendorong penurunan suku bunga kredit perbankan, yang pada gilirannya meningkatkan permintaan kredit dari masyarakat dan sektor bisnis. Ini akan meningkatkan aktivitas ekonomi, yang sangat penting terutama dalam kondisi perekonomian yang sedang melambat. Sebaliknya, kenaikan suku bunga bertujuan untuk menurunkan inflasi dengan mengurangi permintaan agregat dan menurunkan tekanan inflasi, namun sering kali dampaknya tidak langsung dan melibatkan beberapa "time lag" sebelum dapat terlihat di lapangan.

Namun, meskipun perubahan suku bunga BI menjadi instrumen yang sangat berguna, efektivitas kebijakan moneter tidak selalu bisa diprediksi secara linier. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi respons sektor perbankan dan masyarakat. Misalnya, jika perbankan merasa risiko ekonomi masih tinggi, mereka mungkin akan lebih lambat menurunkan suku bunga kredit meskipun BI-Rate sudah dipangkas. Demikian juga, meskipun suku bunga kredit turun, permintaan kredit masyarakat tidak selalu meningkat jika prospek ekonomi sedang lesu. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter perlu diterapkan dengan hati-hati dan dipertimbangkan bersama dengan faktor-faktor lain, seperti kondisi pasar global, sektor keuangan, dan situasi domestik.

Selain itu, kebijakan moneter yang efektif juga memerlukan koordinasi yang baik antara Bank Indonesia, pemerintah, dan otoritas terkait lainnya, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Keuangan. Pemerintah memiliki peran penting dalam mendukung kebijakan moneter dengan menjaga stabilitas harga barang, khususnya pangan, yang menjadi salah satu faktor pendorong inflasi. Dalam hal ini, forum Tim Pengendalian Inflasi (TPI) yang bekerja sama di tingkat pusat dan daerah sangat membantu dalam mengkoordinasikan kebijakan pengendalian inflasi, baik di sisi moneter maupun di sisi pasokan barang. Namun, meskipun kebijakan moneter dapat mengatasi sebagian besar permasalahan ekonomi, tetap saja sektor keuangan juga menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan. Krisis keuangan global 2008 menunjukkan bahwa stabilitas sektor keuangan dan sektor riil memiliki hubungan yang erat. Ketidakstabilan sektor keuangan dapat memperburuk dampak dari kebijakan moneter yang diterapkan, sementara kondisi ekonomi yang stabil di sektor riil dapat mendukung keberhasilan kebijakan moneter. Oleh karena itu, pengelolaan risiko makroekonomi yang melibatkan kebijakan moneter, makroprudensial, dan pengawasan sektor keuangan perlu dilakukan secara sinergis.

Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008 dan pandemi Covid-19 yang melanda pada tahun 2020 telah memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia. Kedua krisis ini mengguncang sektor riil, memengaruhi stabilitas finansial, dan menyebabkan penurunan kesejahteraan masyarakat di berbagai negara. Untuk merespons tantangan tersebut, pemerintah dan bank sentral di seluruh dunia, termasuk Indonesia, telah mengimplementasikan kebijakan fiskal dan moneter yang agresif guna menstabilkan perekonomian, mendorong konsumsi domestik, serta memperkuat investasi. Pada krisis ekonomi global 2008, Indonesia mengadopsi kebijakan fiskal yang ekspansif, yang terfokus pada peningkatan belanja pemerintah, terutama untuk infrastruktur dan program sosial. Pemerintah Indonesia menambah defisit anggaran, yang memberikan ruang lebih besar untuk stimulus fiskal, seperti pengurangan pajak perusahaan guna mendorong investasi dan konsumsi domestik. Langkah ini terbukti efektif, dengan Indonesia mampu mempertahankan pertumbuhan PDB yang lebih baik dibandingkan negara lain yang mengalami kontraksi lebih dalam. Kebijakan ini juga mengarah pada penciptaan lapangan kerja dan stimulasi sektor-sektor yang berpotensi memberikan dampak positif jangka panjang, seperti infrastruktur.

Penting untuk dicatat bahwa meskipun kebijakan fiskal dan moneter yang diterapkan selama kedua krisis ini terbukti memberikan dampak positif, keberhasilan pemulihan ekonomi jangka panjang akan sangat bergantung pada reformasi struktural yang berkelanjutan. Pemulihan ekonomi bukan hanya tentang merespons krisis secara cepat, tetapi juga tentang memastikan fondasi ekonomi yang kuat agar lebih tahan terhadap guncangan di masa depan. Oleh karena itu, kebijakan fiskal dan moneter harus selaras dengan upaya reformasi di sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur, serta mendorong investasi dalam teknologi dan inovasi. Secara keseluruhan, kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi krisis 2008 dan pandemi Covid-19 menunjukkan pentingnya pendekatan yang holistik dan terkoordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter. Dalam menghadapi tantangan global, kebijakan tersebut tidak hanya mencegah kontraksi yang lebih dalam, tetapi juga membuka jalan bagi pemulihan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah dan Bank Indonesia telah menunjukkan komitmen mereka untuk menjaga stabilitas ekonomi, namun untuk mencapai pertumbuhan yang optimal, kerangka kebijakan yang lebih inovatif dan berfokus pada reformasi struktural jangka panjang perlu dipertimbangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline