Lihat ke Halaman Asli

Ninda AprilyaGayatri

Mahasiswa Universitas Airlangga

"Racun TikTok" Merusak Lingkungan?

Diperbarui: 30 Mei 2024   22:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Pada era digital ini, TikTok bukan lagi sebagai media hiburan semata. Semenjak diluncurkannya fitur TikTok shop pada April 2021, pengguna dari aplikasi ini dapat dengan mudah berbelanja sesuai kebutuhan mereka. Fitur ini didukung dengan adanya sistem rekomendasi dan algoritma Tiktok. 

Cara kerja dari fitur ini banyak memungkinkan brand untuk meningkatkan penjualan dan awareness produknya melalui promosi konten video pendek dan live shopping di akun TikTok resmi mereka atau bekerja sama dengan para influencer dengan pengikut ribuan sampai jutaan. Promosi yang dilakukan ini sering kali disebut dengan 'Racun TikTok'

Mengesampingkan keuntungan dari fitur tersebut, hal ini dapat menjadi boomerang untuk masyarakat. Tren yang cepat berputar, sering kali menjadi biang perilaku konsumtif dikalangan masyarakat. TikTok sering kali menggunakan penawaran-penawaran terbatas dalam waktu atau jumlah, membuat rasa urgensi untuk membeli walau tidak membutuhkan dan mengakibatkan perilaku konsumtif. 

Produk yang dipromosikan oleh influencer dapat dengan mudah mendorong mereka untuk membeli produk tersebut, bakan jika mereka tidak membutuhkannya. Salah satu efek negatif dari fitur ini adalah peningkatan produksi pada industri fast fashion.

Sejak dahulu, industri fast fashion membuat permasalahan lingkungan yang cukup serius. Industri ini mendorong eksploitasi sumber daya alam untuk memenuhi permintaan bahan baku secara besar-besaran. Eksploitasi ini mengakibatkan penurunan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan. Limbah polusi yang dihasilkan dari industri fast fashion menjadi penyumbang polusi terbanyak kedua setelah industri perminyakan. Proses produksi tekstil adalah sumber utama emisi karbon dioksida. Pabrik-pabrik yang memproduksi bahan sintetis dan proses pewarnaan berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca.

Penggunaan bahan yang murah dalam industri fast fashion mengakibatkan pakaian yang diproduksi cepat rusak dan memaksa konsumen untuk lebih membeli banyak pakaian serta mengikuti tren. Hal ini menjadi penyebab penumpukan limbah dan sampah pakaian dalam jumlah besar. Ditinjau dari BBC.com, hanya 12% sampah pakaian yang dapat didaur ulang. Sulitnya proses pendauran ulang ini berkaitan erat dengan bahan penyusun pakaian yang digunakan. Bahan sintesis seperti polyester tidak dapat mudah terurai dan dapat bertahan ratusan tahun di tempat pembuangan akhir.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran TikTok shop dapat memudahkan hidup kita, dimana kita mampu membeli barang apapun dengan cepat, mudah, dan praktis. Akan tetapi, sudah sewajarnya kita menggunakan fitur TikTok shop atau tren racun tiktok dengan baik dan bijak serta mengesampingkan keinginan yang didasari oleh nafsu yang bersifat sementara.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline