Lihat ke Halaman Asli

Puisi - Puisi ninbera Edisi 5 : Olan Sanseviera

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

KABUT

Aku lempar kulit wajahmu setelah suara-suara yang tak kukenali kau perdengarkan. Separuh dunia menyumpal kupingmu dengan pujian. Hingga malam yang menatapku begitu lapar. Aku melihat penari erotis. Menggelepar di antara gigi-taringmu. Lalu menukarkan tubuhmu pada penyanyi wanita tanpa penutup dada. Taringmu itu sungguh menyadarkan batu-batu. Meluluhkan keyakinan sungai yang mengaliri nafas langit di kotamu. Kota yang menjadi gelap dan abu-abu oleh tarian. Tarian bertaring buat hati anak-anak kita suatu saat.

Sungguh jangan mendekat kepadaku. Wahai kabut. Dan biarkan kesepian itu menjadi bukit-bukit. Seorang perempuan bersembunyi kelak di setapak jalan menuju puncaknya. Sungguh jangan menari di depanku. Wahai kabut. Tutuplah matamu agar gelap yang kupandang tak lagi beranjak. Dan hitam akan tahu kemana ia bertolak. Nun jauh di sana para pesiar berangkat memuja liukanmu. Di pucuk paling kelabu. Butìran keringatmu akan menghitamkan langkah-langkah jerami. Jerami yang kuikat lalu kubakar. Kemudian membakar rambutmu yang tergerai. Api yang menyala adalah rintihan nurani yang tanpa engkau sadari.

Engkau menari dalam lumpur hitam. Tapi sorak-sorai para penonton begitu sangat engkau inginkan. Aku tetap berdiam dalam lubang doa-doa lebam. Berharap tuhan kita adalah tuhan yang esa. Tuhanku adalah tuhan yang tiada. Dan tuhanmu (barangkali) dirimu sendiri. Kita tak dapat meminum anggur di tempat yang sama. Karena anggurmu berputar di meja judi, atau bersidekap di kamar pencuri bahkan (mungkin) bersenyawa dengan senyum mucikari. Dan musik yang engkau gandrungi makin mahir menggali ceruk nestapa di luka dunia.

Sungguh aku tak ingin menikam jantungku dengan birahi yang membara di ujung malam yang kau genggam. Aku dan engkau selalu berselisih tentang bintang, tentang purnama yang engkau miliki di matamu. Dan aku berujar matamu tak dapat memiliki purnama. Tapi tidak ada yang dapat memiliki sebiji padi pun hakikatnya. Angin merajuk pada pelukmu agar jalan hidupmu melurus. Tetapi engkau tetap merajut sebuah tarian, meraut malam menjadi kepingan kebodohan. Aku memelepas ikatan hati untuk itu. Aku takut wajahmu menulari dinding ; menempel di semua kamar anak remaja. Dan aku pun takut tarianmu mengetuk pintu sekolah, lalu merasuki hati orang-orang yang alpa. Menjauhlah dari negriku wahai kabut. Benamkam erotisme di tubuhmu.

Cirebon, 13 Oktober 2011.

I

Suatu senja di
pinggir sawah,
rumput-rumput ini
masih sisakan
tempat dudukmu.
Lima tahun lalu
sebotol vodka
menampung
kesedihanmu.
Puntung rokok, dan
lebamnya matamu
bersetubuh
di bawah gerimis.
Jejakmu kini hanya
tanya. Kabut yang
menyimpan merah
pipimu. Semakin
tebal. Angin yang
membawa pohon
flamboyan pada
lembaran diariku
bungkam.
Semakin
memperjelas warna
bibirmu di langit itu.

II

Jalan sepi
Menunggu kita.
Botol yang
tersembunyi
menyimpan tangis,
dan kesedihanmu.
Seperti api
yang membakar.
Kemudian rindu
dan lembar
kepedihan.
Memungut cerita
di ujung senja.
Tangan kita
menggapai lemah.
Bibirmu mengais
oase
di bingkai gelap.

III

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline