Lihat ke Halaman Asli

God, I Quit

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Apa yang ada dalam pikiran kata saat mendengar kata 'God, i quit'
'ah, udah bosan idup tu orang..'
'putus asa..'
'gila...'
begitukah?

Tidak dengan saya.. Saat terlintas kalimat ini, saya merasa ingin keluar dari permainan ini. Permainan? Yup, permainan hidup...

Permainan hidup ini dimulai ketika Tuhan menciptakan Adam dan Hawa. Menempatkan mereka di bumi (yah, saya bilang menempatkan, meskipun sebagian orang bilang dibuang) kemudian membuat role play, mendapat tambahan poin ketika berbuat baik dan dikurang ketika berbuat salah. Nah di titik ini saya merasa, '..lah.. Kok.. Kaya aturan games yang dibuat bu guru saya dulu ya?' dan saya ingat, seorang teman yang bersikeras tidak mau ikut permainannya. 'tidak bu, saya mau jadi penonton saja..'

Dari sana muncul pikiran iseng, gimana kalau saya dapat mengajukan proposal tentang kedudukan saya sekarang, dari salah seorang pemain diubah menjadi penonton saja? Hehe..
Dengan begitu saya tidak usah di pusingkan lagi tentang aturan main, jika saya beramal tidak diberi pahala, jika kebetulan berbuat dosa tidak dikurangi poinnya. Bagaimana? Brillian kan? Jenius! Hahaha...

Saya juga ingat ketika teman saya itu terpingkal-pingkal melihat kami yang mengikuti instruktur bu guru dalam games itu. Terpingkal-pingkal karena melihat kami kesusahan menerjemahkan teka-teki, perkalian, dan meniru gaya binatang demi mendapatkan poin. Senang sekali dia jadi penonton.

Tapi yang masih mengganjal pikiran saya adalah saat penghitungan poin akhir, para pemain akan datang berbaris untuk mengakumulasikan poin yang di dapat, kemudian mendapatkan imbalan, lah bagaimana dengan saya?

Teringat lagi teman saya yang menolak berpartisipasi dalam games bu guru itu, semuanya mendapatkan potongan bolu kismis, kecuali dia. Gigit jari..! Keliatan sekali dia ingin menjadi bagian dari kami, meskipun dengan poin kecil, toh semua bolunya potongannya sama besar.

Nah, saya nanti bagaimana? Apa layaknya penonton opera yang mendapatkan suguhan penampilan yang menarik, merasa puas, tepuk tangan dan pulang? Pulang? Saya nanti pulang kemana? Apa nanti begitu saya mati hanya menjadi tanah? Apa nanti gigit jari saat melihat para pemain opera itu sedang bergembira karena penampilannya bagus atau sedang sedih karena dilempari telur busuk karena membosankan penonton?

Gigit jari juga saat mereka berduyun-duyun berbaris untuk di hitung poin total mereka? Oo.. Tidak, itu tidak, nggak menyenangkan.. Persis teman saya itu dong nanti, gigit jari, tercelam-celam melihat yang lain menikmati bolu kismis. Saya lebih memilih ikut dilempari telur busuk dari pada pulang ngga tau kemana...

Jadi pikir lagi, proposal ini jadi dikirim ngga?
Astaugfirullah..
-Jakarta, kosan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline