Aku biarkan rongga dadaku dipenuhi udara agar aku bisa membuat napasku tak sesak lagi. Mataku menjelajah tiap sudut yang masih sangat aku kenali. Ruangan yang tak banyak berubah, kecuali cat tembok yang semula berwarna maroon kini berubah menjadi krem.
Waktu sepuluh tahun tidak mampu mengubah ruangan tempat dulu Bapak menghardikku untuk terakhir kali. Ruangan perpustakaan dengan lemari yang penuh buku dan temboknya berwarna abu-abu tua.b Ibu menatap penuh kebingungan. Seandainya saja Ibu bisa bersikap lebih tegas dan memberikan penjelasan pada Bapak, aku tidak perlu menghabiskan waktu di tempat jauh.
Perlahan aku mendekati kursi kecil di mana dulu aku tertunduk, mendengarkan ceramah Bapak. Kursi yang terbuat dari kayu jati masih kokoh meskipun peliturnya telah tertutup debu. Foto Bapak, Ibu, aku, Mas To dan Re, masih tersimpan di dinding sebelah kiri. Ibu pandai menata ruangan yang tidak terlalu luas ini sehingga masih tersisa ruang di sebelah kursi tamu untuk meletakkan rak vas bunga hidup yang diambil dari taman bunga Ibu.
Aku duduk di kursi kecil itu, mengusap debu yang menempel di pelitur tua dengan ujung jari. Di sinilah semuanya dimulai. Tempat di mana aku mendengar kalimat yang terus menggema dalam pikiranku selama bertahun-tahun.
"Kamu pikir hidup ini cuma main-main? Seni musik? Mau jadi pengamen?!"
Suaranya tegas mengetuk nasibku tanpa bertanya lebih dulu. Aku hanya diam saat itu, walaupun di dadaku ada bara. Aku tahu Bapak mencintai keluarganya dengan caranya sendiri, tapi aku tidak pernah bisa menerima bahwa caranya mencintai sering kali terasa seperti rantai, membelenggu.
"Ibu..." gumamku pelan, seakan berharap ada jawaban yang keluar dari foto di dinding itu. Dalam hati aku bertanya, apakah Ibu pernah menyesali sikap diamnya? Atau, apakah aku yang terlalu berharap lebih dari seorang perempuan yang juga mungkin tidak tahu cara melawan?
Aku berdiri, berjalan pelan menuju dapur. Aroma kenangan tercium samar di udara, bercampur dengan bau kayu tua yang lembap. Aku membayangkan Bapak duduk di meja makan sambil membaca koran, Ibu sibuk menggoreng tempe, dan Re yang selalu gaduh meminta sarapan lebih cepat. Semua itu kini terasa seperti potongan mimpi, terlalu jauh untuk kugapai, namun terlalu dekat untuk benar-benar kulupakan.
Pintu dapur berderit ketika aku membukanya. Di luar, kebun kecil di belakang rumah terlihat tak terurus. Bunga-bunga Ibu yang biasanya subur kini sudah lama mati, berganti ilalang yang tumbuh liar. Aku menghela napas panjang. Sepuluh tahun, dan semua ini tetap sama---kecuali aku.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari pintu depan. Langkah itu tegas, hampir seperti nada marah yang terpendam. Aku berbalik dengan cepat, jantungku berdetak lebih cepat.