Lihat ke Halaman Asli

Nina Sulistiati

TERVERIFIKASI

Belajar Sepanjang Hayat

Menghadirkan 'Jiwa' dalam Puisi (1)

Diperbarui: 18 Januari 2023   22:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Dok Pri by Canva

"Puisi adalah kumpulan kegembiraan, rasa sakit dan keajaiban, dengan sedikit kamus." - Khalil Gibran

Menulis itu mudah. Hal itu dibuktikan semakin maraknya karya- karya tulis dalam berbagai genre hadir di berbagai media, khususnya media sosial, seperti facebook, whatsapps, line, mesengger, telegram, twiter, blog dan lainnya. Bahkan ada penulis-penulis yang berani menerbitkan bukunya sendiri.

Pandemi Covid-19 selama hampir tiga tahun memberikan transformasi kegiatan masyarakat. Perubahan kegiatan yang dilakukan di luar rumah, kantor-kantor terpaksa harus dibatasi. Work from office (WFO) berubah menjadi work from home (WFH).

Kegiatan kepenulisan itu berkembang seiring berkembangnya komunitas-komunitas menulis, dan pelatihan-pelatihan menulis secara on line. Manfaat yang dapat dipetik dari komunitas-komunitas ini adalah tercipta interaksi dengan penduduk dunia maya secara mudah dan  luas di berbagai daerah di Indonesia bahkan juga teman-teman yang berasal dari luar negeri.

Media sosial dijadikan sebagai buku harian bagi para penulis pemula. Semua pengalaman, peristiwa-peristiwa atau pun sekedar mengungkapkan perasaan yang ada di hati memenuhi hampir semua media sosial. Yang sering muncul di media sosial adalah genre cerpen dan puisi.

Saya termasuk orang yang menyukai jenis fiksi. Beberapa tulisan yang saya kirim di blog Kompasiana bergenre cerpen, flash fiction, novel, dan puisi. Saya lebih senang menulis fiksi karena tidak membutuhkan referensi sebagai sumber rujukan. Fiksi (puisi) lebih mudah karena tinggal menuliskan pengalaman, perasaan dan hasil pengamatan dalam larik -larik puisi.

Saya tidak berani mengatakan saya penulis meskipun secara bahasa orang yang melakukan kegiatan menulis disebut penulis. Khususnya genre puisi. Ada sesuatu yang kurang saat saya membaca ulang puisi-puisi yang saya tulis. Saya juga kurang percaya diri untuk membukukan karya-karya puisi saya yang diikutkan dalam chalange 40 hari menulis di komunitas YPTD pada  tahun lalu. Apa penyebabnya? Ternyata puisi-puisi yang saya buat kurang menyentuh makna di dalamnya.

Menghadirkan 'Ruh' Puisi

Saya memahami teori puisi saat saya kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Bandung. Pengertian puisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah 1 ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait; 2 gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus; 3 sajak.

HB. Jassin mengatakan puisi adalah sebuah pengucapan yang melibatkan perasaan di dalamnya yang mengandung suatu pikiran dan tanggapan.

Pada dasarnya puisi itu sebagai salah satu ragam sastra yang memiliki rima, irama, ritma serta lirik dalam setiap bait yang mewakili perasaan seorang penulis yang dikemas dengan bahasa imajinatif. Puisi memiliki bentuk yang berbeda dengan bentuk karya sastra lain. Puisi ditulis dalam bentuk larik di tiap baitnya. 

Saya sempat merasa bingung saat membaca beberapa karya puisi yang ditulis dalam bentuk paragraf, tetapi dikatakan sebagai puisi. Saya belum menemukan teori jika puisi ditulis dalam bentuk paragraf sama halnya dengan kita menulis narasi. Padahal puisi itu sangat berbeda dengan menulis karya tulis lain, seperti cerpen, artikel yang ditulis dalam paragraf, sedangkan puisi ditulis dalam bentuk bait.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline