"Engkau merawat ibumu sambil menunggu kematiannya, sementara ibumu merawatmu sambil mengharap kehidupan dan kebahagiaanmu." - Umar bin khattab
Senja berhias lembayung. Burung-burung mulai beterbangan untuk kembali ke sarangnya. Mentari pelan-pelan tenggelam dalam pelukan malam.
Aku menatap seorang perempuan tua yang berdiri di depan pendopo rumah gedongan. Perempuan itu menggunakan jarik motif parang kusumo dan kebaya lengkap dengan asesorinya. Beratapkan langit jingga yang memesona, dia berdiri tegak di tepi jalan menatap hamparan sawah yang menguning tepat di seberang rumah itu. Beberapa laki-laki menemani perempuan itu berdiri sambil posisi tegak.
Sudah tiga hari ini aku melihat perempuan itu melakukan hal yang sama. Aku melihatnya dari balik jendela kamar rumah Bude Ayu yang letaknya berada di seberang sebelah kiri rumah itu. Entah apa yang ada dipikirannya. Aku juga tak mengerti apa yang sedang dilakukannya. Rasa penasaran membawa langkahku untuk bertanya kepada Bude ayu.
"Bu de, Siapakah perempuan sepuh yang berdiri di depan rumah gedong itu?" tanyaku penasaran.
"Oh ... itu Eyang Lastri. Ada apa, Nduk?" Bude balik bertanya.
"Aku memperhatikan sudah tiga hari ini, beliau berdiri di depan pendopo sambil memakai pakaian kebaya lengkap dengan asesorisnya. Aku pikir dia akan menerima tamu, tetapi dia masuk kembali setelah suara azan terdengar." Aku memaparkan keanehanku.
"Bude juga kurang paham, kan Bude baru dua bulan tinggal di sini," ujar Bude.
Aku lupa jika Bude Ayu baru pindahan ke daerah ini mengikuti Pakde Jarwo yang mutasi. Aku harus mencari tahu apa yang dilakukan oleh Eyang Lastri setiap sore juga tentang keluarga itu.
Keesokan harinya aku duduk di teras rumah seraya memandangi rumah gedong itu. Tak ada aktivitas apa pun di sana.
Aku membereskan pot-pot bunga aglaonema milik Bude Ayu, kemudian menyiramnya dengan menggunakan sprayer. Mataku sesekali menatap rumah gedong itu dan berharap ada sesuatu yang dapat menjelaskan semuanya.