Minyak kayu putih adalah perlengkapan sehari-hari yang sudah saya kenal sejak umur balita. Kurang pasti umur berapa tepatnya, tetapi yang jelas penggunaan minyak kayu putih dimulai setelah saya lepas dari minyak telon. Tentu saja Ibu lah yang mengenalkannya. Beliau selalu membalurkan minyak "pengusir angin" ini bagian perut dan panggung saya setelah mandi. Rasa hangat dan nyaman langsung membalut tubuh, ditambah sentuhan tangan Ibu yang lembut dan penuh kasih. Ah, jadi melow, ingat almarhumah.
Kebiasaan itu tetap saya lakukan hingga kini, ketika saya pun telah menjadi seorang ibu. Seperti menjadi ritual, sehabis mandi saya tuangkan sedikit minyak kayu putih pada telapak tangan, lalu mengusapkan pada beberapa bagian tubuh. Jika udara sedang dingin seperti saat ini, saya perbanyak pemakaiannya. Hasilnya, berkali-kali kehujanan, badan tetap fit.
Dua anak saya - cowok semua- juga akrab dengan minyak kayu putih. Sebenarnya, saya tidak pernah memaksa para jagoan itu untuk ber-minyak kayu putih sehabis mandi, seperti tradisi Ibu saya. Alasannya, karena mereka laki-laki dan ABG pula. Maka saya bebaskan saja. Silahkan memilih apa yang nyaman menurut mereka Tetapi ternyata manfaat yang mereka rasakan, justru membuat tak bisa berpisah dari minyak kayu putih.
Oh ya, jadi teringat, ketika anak-anak masih kecil, suatu hari kami ajak mereka ke sebuah daerah bernama Sukun, di Kecamatan Pulung Ponorogo. Sebuah kawasan milik Perhutani, yang khusus ditanami pohon kayu putih.
Jika kita berada atau sekedar melintas di daerah itu, aroma minyak kayu putih langsung menyergap. Tanpa saya duga, rupanya anak-anak suka dan menikmati suasana tersebut. Maka saat mereka tumbuh dan tetap menyukai aroma minyak kayu putih, saya seperti de javu, meliihat kembali masa kecil mereka yang menarik nafas dalam- dalam untuk menghirup aroma dari ratusan pohon kayu putih di kawasan Sukun.
Ketika teman-temannya banyak beralih atau memilih minyak angin roll on yang katanya lebih kekinian, my sons tetap setia pada minyak kayu putih. GueBeda, dan tetap yakin yang pas buat aku adalah KayuPutihAroma.
Makanya, untuk kegiatan lapangan, yang membuat mereka berlama-lama bahkan begadang di ruang terbuka (keduanya cenderung berkarakter bolang- bocah petualang), pasti tak lupa membawa minyak kayu putih untuk menunjang aktivitasnya. Katanya, untuk mengusir masuk angin, untuk senjata menghadapi serangan udara dingin, dan menghalau gigitan nyamuk.
Si sulung , Raka, aktif dalam kegiatan seni budaya. Beberapa waktu lalu, dia tergabung dalam panitia festival budaya "Grebeg Suro" di kota kami. Sebuah event bertaraf nasional.
Pemerintah kabupaten mengambil langkah berani dengan menyerahkan penyelenggaran acara kepada para pemuda setempat. Anak muda dipercaya sebagai Event Organizer. Hal ini sangat berbeda, dimana pada tahun-tahun sebelumnya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menjadi pemegang kendali sepenuhnya. Dan masyarakat, termasuk para pemuda diposisikan sebagai penonton saja.
Kesempatan pertama sebagai EO ini tak disia-siakan. Gabungan generasi milenial di kota kami bertekat menjadikan event budaya ini benar-benar bertaraf nasional dalam semua aspek. Dan terglobalisasi, itu istilah mereka. Artinya tayangan seni budaya tradisional berupa Reog Ponorogo, bisa dinikmati oleh penduduk dunia.
Untuk itu, konsep acara dibuat sangat berbeda. Lebih tertata. Mulai dari seting panggung, manajemen peserta, penataan tamu / penonton, penjualan tiket serta teknik promosi. Semua misi itu membutuhkan kerja keras dan kekompakkan tim. Salah satunya mengharuskan segenap panitia, ibarat nya harus bermalam di panggung utama aloon-aloon selama beberapa hari.