"Panggung melahirkan panggung". Kalimat ini muncul di benak saya ketika membaca cuitan @sudjiwotejo : pembenar punya seabrek alasan untuk membenarkan. Penyalah punya seabrek alasan untuk menyalahkan. Penonton pulang dengan membawa kesan masing-masing.
Lalu saya nyamber : penonton gegeran dhewe (berantem sendiri) berbekal kesan masing-masing. Panggung melahirkan panggung.
Dalam hitungan detik, langsung diretwit oleh Pak Presiden Jancukers. Bangga? Iya lah. Meskipun ini bukan kali pertama caper saya direspon mbah Tedjo, tetapi dalang nyeleneh ini saya anggap pelit dan agak sulit dipahami. Jarang mengutip twit dan tak mudah menghargai opini orang lain. Lebih sering ngenyek dengan menyinggung level IQ. Pancen nganyelke . Mohon ampun nggih, Mbaah... Ya tetapi, itulah Pak Sudjiwo yang memang terkenal Tedjo.
Di luar urusan sukses membetot perhatian Pak Dalang dan beberapa akun lain termasuk Mas Fajar Nugros, praktisi film-film top tanah air, saya kemudian merenung, bahwa kalimat panggung melahirkan panggung memang bermakna. Itu pendapat saya. Anda boleh tidak setuju. Bebas saja. Yang penting terus baca tulisan ini sampai habis. Pliiis, *maksa*
Sebuah panggung, tontonan, kejadian atau apalah namanya, tidak lah berdiri sendiri. Satu panggung adalah efek, dampak dari pagelaran pada panggung sebelumnya. Pun, sebuah panggung bisa menjadi sebab, atau rahim bagi lahirnya stage untuk kisah berikutnya. Selalu ada benang merah antara satu peristiwa dengan kejadian lain. Entah sebelum atau sesudahnya.
Bertebaran Panggung di Sekitar Kita
Pilpres 2014 telah lama usai. Layar pemilu ditutup, panggung dibongkar, setting dan segala properti -- baliho, banner, kotak suara, bilik pemilu, paku alat coblos, semua telah dibereskan.
Tetapi, panggung pilpres belum sepenuhnya usai. Penonton yang membawa pulang kesannya masing-masing, terus saja menggelar panggung demi panggung. Pilpres telah menjadi rahim yang subur , sukses beranak pinak melahirkan banyak panggung.
Anak-anak panggung ini, memiliki karakter khas. Mereka setia penuh permakluman dan sanjung puja kepada kelompok mereka. Tetapi, sadis dan raja tega kepada kubu lawan. Demi memuaskan rasa suka atau benci, rela membuang logika.
Contoh : Ini saya baca beberapa hari lalu. Ada sebuah ajakan bersikap untuk pilgub yang akan berlangsung di salah satu propinsi di Pulau Jawa. Bunyinya kurang lebih : Jangan dulu menentukan dukungan, kita lihat kubu sebelah dukung siapa. Intinya, kita harus head to head lagi. Kita kandaskan mereka.
Hadeh, ini memilih kepala daerah Bro, bukan pemilihan ketua geng. Kok bukan mengajak melihat kompetensi calon demi kemaslahatan umat, tetapi malah fokus pada balas dendam? Sampai kapaaan ini dipelihara? Bagaimana nasib anak-anak nanti, jika setiap hari terpapar pola pikir dendam kesumat semacam ini?