Lihat ke Halaman Asli

Anak Harus (Bisa) Kuliah Jangan Jadi Kordis, Kormod, dan Korik

Diperbarui: 15 Juli 2017   20:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

www.jenius.com

Selepas SMA, saya ingin melanjutkan ke perguruan  tinggi negeri / PTN.  Atau jika gagal,  ke PTS pun, tidak apa-apa.  Asalkan bisa belajar ke kota besar, merantau,  seperti teman-teman.

Tetapi,  harapan itu menempatkan saya bagai "pungguk merindukan bulan".  Kemampuan dan kemauan orang tua berseberangan. Dengan alasan hemat  biaya, mereka ingin saya kuliah di kota kami, seperti kakak-kakak. 

Saya  menolak.  Saya tidak  merantau, tetapi juga tidak kuliah. Saya pilih  bekerja dengan ijasah SMA. Rencana jangka panjang, menabung untuk bekal  kuliah nantinya.

Bekerja di media, bertemu banyak praktisi dan  bahkan pemilik media, berkeliling di hampir semua propinsi di pulau  Jawa, membuat saya merasa kerdil, secara ilmu. Betul bahwa pengalaman  mengajarkan banyak hal tentang bidang tugas. Tetapi tetap ada yang  kurang, karena belum menguasai ilmu (jurnalistik) secara formal. Lebih  dari itu, meskipun tidak selamanya benar, menurut saya pendidikan  (tinggi) mampu merubah banyak hal. Seperti pola pikir, cara pandang,  pemecahan masalah dan sebagainya.

Empat tahun bertahan,  rasa minder membuncah.  Akhirnya saya putuskan resign dan kuliah di  ibukota propinsi. Memilih Fakultas Ilmu Komunikasi. Berbaur dengan mahasiswa baru, para lulusan SMA.

Belum  rampung kuliah, pinangan pria yang mengajak menikah, saya terima.  Karena pertimbangan usia dan lain-lain. Bagi saya ini bukan sikap  ceroboh, kurang perhitungan dan hal negatif lain. Saya lebih suka  memegang prinsip : jodoh, rejeki, maut, ada di tangan Tuhan. Maka ketika  hal itu datang, tak akan kuasa kita menolaknya.

Saya hamil di  tahun yang sama dengan pernikahan. Padahal sebelum menikah, kami serius  konsultasi program menunda kehamilan. Sekali lagi, rejeki -dalam hal ini  anak-, tak ingin saya tolak.

Saya tetap kuliah, nge-kos  sendiri, sementara suami bekerja di kampung halaman. Kuliah berjalan  hingga kehamilan hampir 9 bulan. Akhirnya saya mengajukan cuti kuliah,  pulang kampung, melahirkan dan mengurus baby, hingga layak untuk  ditinggal dan dititipkan ke Eyang Putri.

Ketika bersiap untuk  kembali meneruskan kuliah, tiba-tiba hamil lagi. Dengan kondisi alat  kontrasepsi ( IUD ) masih terpasang.  Di titik itu, di tengah semangat  kuliah yang masih membara, diantara tanggung jawab mengurus bayi dan  tiba-tiba akan memiliki bayi lagi, padahal sudah berusaha untuk  menunda  hamil, saya ambil keputusan : stop mengejar impian pribadi  kuliah di  kota besar. Lebih baik fokus membesarkan dua batita sekaligus, berkumpul dengan  keluarga dan kelak mencari kerja. Saya tetap merasa mulia, jika mampu  menjadi ibu yang baik, menyiapkan generasi yang sehat,mandiri dan bisa  diandalkan.

Kini Saatnya Kuliahkan Anak-Anak

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline