www.jenius.com
Selepas SMA, saya ingin melanjutkan ke perguruan tinggi negeri / PTN. Atau jika gagal, ke PTS pun, tidak apa-apa. Asalkan bisa belajar ke kota besar, merantau, seperti teman-teman.
Tetapi, harapan itu menempatkan saya bagai "pungguk merindukan bulan". Kemampuan dan kemauan orang tua berseberangan. Dengan alasan hemat biaya, mereka ingin saya kuliah di kota kami, seperti kakak-kakak.
Saya menolak. Saya tidak merantau, tetapi juga tidak kuliah. Saya pilih bekerja dengan ijasah SMA. Rencana jangka panjang, menabung untuk bekal kuliah nantinya.
Bekerja di media, bertemu banyak praktisi dan bahkan pemilik media, berkeliling di hampir semua propinsi di pulau Jawa, membuat saya merasa kerdil, secara ilmu. Betul bahwa pengalaman mengajarkan banyak hal tentang bidang tugas. Tetapi tetap ada yang kurang, karena belum menguasai ilmu (jurnalistik) secara formal. Lebih dari itu, meskipun tidak selamanya benar, menurut saya pendidikan (tinggi) mampu merubah banyak hal. Seperti pola pikir, cara pandang, pemecahan masalah dan sebagainya.
Empat tahun bertahan, rasa minder membuncah. Akhirnya saya putuskan resign dan kuliah di ibukota propinsi. Memilih Fakultas Ilmu Komunikasi. Berbaur dengan mahasiswa baru, para lulusan SMA.
Belum rampung kuliah, pinangan pria yang mengajak menikah, saya terima. Karena pertimbangan usia dan lain-lain. Bagi saya ini bukan sikap ceroboh, kurang perhitungan dan hal negatif lain. Saya lebih suka memegang prinsip : jodoh, rejeki, maut, ada di tangan Tuhan. Maka ketika hal itu datang, tak akan kuasa kita menolaknya.
Saya hamil di tahun yang sama dengan pernikahan. Padahal sebelum menikah, kami serius konsultasi program menunda kehamilan. Sekali lagi, rejeki -dalam hal ini anak-, tak ingin saya tolak.
Saya tetap kuliah, nge-kos sendiri, sementara suami bekerja di kampung halaman. Kuliah berjalan hingga kehamilan hampir 9 bulan. Akhirnya saya mengajukan cuti kuliah, pulang kampung, melahirkan dan mengurus baby, hingga layak untuk ditinggal dan dititipkan ke Eyang Putri.
Ketika bersiap untuk kembali meneruskan kuliah, tiba-tiba hamil lagi. Dengan kondisi alat kontrasepsi ( IUD ) masih terpasang. Di titik itu, di tengah semangat kuliah yang masih membara, diantara tanggung jawab mengurus bayi dan tiba-tiba akan memiliki bayi lagi, padahal sudah berusaha untuk menunda hamil, saya ambil keputusan : stop mengejar impian pribadi kuliah di kota besar. Lebih baik fokus membesarkan dua batita sekaligus, berkumpul dengan keluarga dan kelak mencari kerja. Saya tetap merasa mulia, jika mampu menjadi ibu yang baik, menyiapkan generasi yang sehat,mandiri dan bisa diandalkan.
Kini Saatnya Kuliahkan Anak-Anak