Lihat ke Halaman Asli

Hidup di Tanah Surga, Namun Harus Tetap Sadar Bencana

Diperbarui: 24 Juni 2017   22:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika bencana tanah longsor Desa Banaran Pulung Kabupaten Ponorogo Jawa Timur,  terjadi pada  2 April 2017, di tengah rasa kaget dan duka mendalam, saya bergumam : akhirnya terjadi.

Mengapa? Karena bencana itu sudah diprediksi. Tinggal tunggu hari H saja. Sejak beberapa minggu sebelumnya, berita di radio lokal terus menerus menyiarkan ancaman bencana tersebut. Antara lain dtandai munculnya rekahan tanah yang semakin lebar. Warga setempat, kepala desa serta Badan Penanggulangan Bencana Daerah ( BPBD ) Kabupaten Ponorogo, silih berganti menjadi narasumber berita.

Dari radio, saya mengetahui, BPBD Kabupaten Ponorogo telah mengambil langkah. Seperti, mengungsikan penduduk dari zona bahaya. Namun evakuasi belum total. Daerah terdampak belum bisa dikosongkan seratus persen. Karena warga hanya mengungsi pada malam hari. Sementara pada pagi hingga sore mereka pulang, beraktifitas di ladang. Tampaknya ada anggapan, jika benar terjadi longsor, maka akan berlangsung malam hari. Saya kurang mengerti, darimana pemahaman itu berasal.

Dan, sekitar jam 10 pagi ketika warga pulang untuk panen jahe, bencana longsor dalam skala besar terjadi. Menimbun apa pun yang dilalui. Tanah bergerak, meluncur dengan kecepatan tinggi. Banyak warga tak sanggup menyelematkan diri. Akibatnya , 28 orang tewas. Puluhan menderita luka. Rumah dan harta benda, hancur tertimbun longsoran.

Upaya evakuasi korban tak bisa dilanjutkan karena longsor susulan mengancam keselamatan Tim SAR dan relawan. Hingga masa tanggap darurat ditutup, tercatat masih ada puluhan korban belum ditemukan.

Berita dan perkembangannya, disiarkan radio lokal yang memang memilih berita dan hiburan sebagai format siarannya. Beberapa hal dapat saya petik dari musibah tersebut:

  • Bahwa bencana alam dekat dengan kita. Pemahaman selama ini : kita hidup di tanah surga dengan alam indah dan kekayaan melimpah, harus mulai diubah. Ternyata nikmat tanah surga ini satu paket juga dengan tingginya ancaman bencana. Sadar bencana, harus ditanamkan kepada anak-anak.
  • Ketika alam memberi alarm bahaya, masyarakat harus diyakinkan bahwa menjauhi lokasi adalah jalan terbaik. Selama ini warga sepertinya enggan untuk benar-benar menjauh. Salah satu alasan karena sumber penghidupan ada disana, dan belum ada penggantinya.
  • Pemerintah perlu memperluas cakupan penanganan warga terdampak. Tidak hanya masalah relokasi, penampungan dan membuat hunian baru. Tetapi juga harus memikirkan mata pencaharian baru bagi para korban. Agar mereka tidak tergoda untuk kembali ke tempat asal. Terlalu besar risikonya.
  • Sosialisasi kepada masyarakat tentang peruntukkan lahan dan dampak pelanggarannya. Menurut Ketua Tim dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (PVMBG), Herry Purnomo, longsor Banaran Pulung terjadi karena hampir seluruh tanah di bukit sekitar lokasi berubah menjadi ladang jahe. Perbukitan yang seharusnya ditanami pohon besar, diganti tanaman perdu berakar lemah. Tampaknya warga yang bertanam jahe, tidak menyadari bahwa kegiatan mereka akan menjadi sumber malapetaka yang merenggut nyawa sanak saudara dan menghancurkan harta benda.

Radio, Media Untuk Meningkatkan Sadar Bencana

Radio dengan karakteristiknya, mampu mengambil peran sebagai mitra Badan Nasional Penganggulangan Bencana (BNPB) dan BPBD dalam sosialisasi sadar bencana. Seperti dimuat dalam Undang Undang  Nomor 24 Tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana. Dimana tahap-Tahap Penanganan Bencana, adalah :

  • Mitigasi. Yaitu tahap awal penanggulangan bencana alam.

Melalui radio, BNPB atau BPBD dapat menyebarkan informasi peta wilayah rawan bencana, memberikan penyuluhan dan meningkatkan kesadaran masyarakat.

Dimanapun lokasinya, bencana alam pasti terjadi dalam suatu wilayah pemerintahan. Sosialisasi pemerintah pada tingkat lokal akan lebih efektif.

Stasiun radio di berbagi daerah / kota hampir selalu memanfaatkan faktor kelokalan sebagai salah satu perekat antara penyiar pendengar serta antar sesama pendengar. Kesamaan tempat tinggal, bahasa, budaya, nilai -- nilai,  pengalaman harian yang kurang lebih sama, mengikat masyarakat dalam  satu "frame" yang sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline