Saya mengajak anak-anak berjalan-jalan di sebuah taman. Di dalam taman itu terdapat sebuah kolam berdinding batu alami yang indah walaupun terlihat kurang terawat. Sumber air didapatkan dari sebuah parit, dimana setelah airnya menggenang di kolam yang dangkal untuk beberapa saat, kemudian dialirkan keluar lewat parit yang lain. Yang menarik perhatian anak saya rupanya adalah sebuah pancuran bambu yang bergerak ungkat-ungkit di kolam itu. Dengan segera mereka berjongkok dan mengamati pergerakan pancuran bambu itu. Tertarik akan cara kerjanya sehingga bisa bergerak ke atas dan ke bawah dengan otomatis. Betapa antusiasnya mereka mendiskusikan cara kerja pancuran bambu itu.
Tentu saja pancuran tradisional seperti itu sudah sering saya lihat sebelumnya. Namun bagi anak saya, barangkali ini memang pemandangan yang pertama. Tidak ingat apakah sebelumnya saya pernah mengajak mereka melihat pancuran seperti itu. Saya memandang ke arah pancuran itu.
Pancuran itu terlihat sangat selaras dengan sekitarnya. Air, batu, bambu, tali ijuk, tanaman liar dan lumpur! Mengingatkan saya akan kedamaian di kampung. Terbuat dari beberapa potong bambu yang terbagi menjadi dua kelompok. Pancuran pertama dan pancuran kedua.
Pancuran pertama, terbuat dari sepotong bambu yang disangga oleh tiga batang bambu yang diikat menjadi satu dengan tali ijuk dan terpancang kuat di dasar kolam. Pancuran pertama selalu menjadi alat pengalir. Seberapa banyakpun yang ia terima, sebanyak itulah yang ia alirkan . Air yang berada di dalam buluhnya hanya secukupnya saja. Dan itupun terus bergerak. Itu yang membuat pancuran pertama itu hidup.
Pancuran ini mengalirkan air dari parit. Airnya jatuh mengucur tepat di mulut sebuah tabung bambu yang tersangga dengan kuat namun fleksible pada tiang bambu. Beberapa saat kemudian airnya memenuhi tabung bambu yang dasarnya buntu itu. Begitu penuh dan memberat, ujung tabung bambu itu segera bergerak ke bawah dan menumpahkan airnya ke dasar kolam. Dengan demikian ia berfungsi menjadi pancuran yang kedua. Setelah kosong, maka tabung bambu yang sekarangmenjadi ringan, ujungnya kembali bergerak ke atas untuk segera diisi kembali dengan air oleh pancuran pertama. Dengan cara demikianlah, maka tabung itu bisa mengosongkan dirinya sehingga menjadi siap untuk diisi kembali.
Demikian seterusnya terjadi berulang-ulang secara otomatis. Mekanisme yang sangat menarik!
Apa yang terjadi jika ia kaku dan tidak bergerak menumpahkan airnya sendiri ke sekitarnya ? Tentu saja air baru yang akan masuksegera tumpah sebelum sempat memasuki tabung bambu itu. Tabung itu tak akan pernah siap untuk menerima air yang baru karena terlalu penuh. Karena ia tidak pernah mengosongkan dirinya sendiri. Ooh!
Saya meninggalkan pancuran batu itu danbertanya di dalam hati – Apakah itu juga yang terjadi pada diri kita? Ketika kita membiarkan diri kita penuh oleh rejeki tanpa pernah berusaha menumpahkannya sedikitpun kepada orang lain di sekitar kita?
Ketika kita merasa penuh oleh pengetahuan tanpa berusaha mengalirkannya dan mengosongkan diri kita untuk menerima pendapat, pandangan dan ide-ide orang lain?Barangkali ada saatnya kita juga perlu menyiapkan ‘mental’ kita untuk sesekali merasakan ‘ kosong’ agar kita bisa terisi kembali dengan pengetahuan baru yang memperkaya diri kita.
Barangkali itu juga yang terjadi dengan kesehatan tubuh kita. Ketika tubuh kita terlalu jenuh dengan makanan tanpa berusaha sesekali mengurasnya, tentu kebugaran akan berkurang, aktifitas mulai terbatas dan penyakit akan datang.
Barangkali itu juga sebabnya mengapa kita diajarkan untuk sesekali berderma, berpuasa dan menahan diri. Demi pengosongan dan pengisian kembali oleh mekanisme kehidupan.
Entahlah! Namun pancuran bambu itu telah membuat saya merefleksi sejenak ke dalam diri saya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H