Lihat ke Halaman Asli

Ni Made Ratna

Psikolog Klinis

Pahami Aku dalam Diamku

Diperbarui: 31 Agustus 2020   09:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kasus I

Pada saat kecil, Iman merupakan anak yang pemalu, dibangku TK ia bukanlah anak yang cepat beradaptasi dengan teman-teman sekolahnya, saat bertemu dengan teman dan orang baru ia dengan spontan bersembunyi dibelakang kaki ayah atau ibunya. Sepanjang TK ia hanya bermain dan berbicara dengan teman-teman sebayanya yang dirasa nyaman.  Ia sangat kesulitan untuk mengungkapkan dalam bahasa verbal apa yang dirasakan dan dipikirkannya. Kesulitan ini belum hilang dan menurutnya bertambah diusianya yang beranjak 28 tahun ini. Ia merasa dirinya semakin bermasalah saat ia merasa kesulitan untuk mendekati wanita yang disenanginya. Setiap mencoba untuk berbicara pikiran rasionalnya serasa  tertutup oleh rasa malu yang akut. Dalam pikiran Iman " tidak ada yang suka saya ", " saya merasa orang lain berpikir saya aneh ".  Ketika pikiran itu muncul Iman merasakan badan serasa meriang tidak enak, muka saya tegang, tenggorokan saya panas, lidah saya kelu. Padahal ia lulusan Sarjana IT dengan predikat Summa Cum Laude di salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Ia sangat fasih bekerja di bidang IT. Untuk menghindari episode 'kumat' seperti ini, dia menghindari banyak aspek kehidupan: ia makin sering tidak masuk kerja dengan mencari alasan agar tugas-tugas kantor dapat dikerjakan lebih banyak di rumah,  menghindari aktivitas di luar ruangan dan bertemu dengan orang baru. Ia hanya berbicara saat ia butuh saja baik dengan keluarga maupun orang lain. Keluarga Iman sendiri tidak banyak mempermasalahkan perilakunya. Bagi mereka bahwa sejak kecil Iman anak yang sangat pendiam, terlebih lagi ayahnya merupakan sosok yang keras dan menuntut banyak secara verbal. Membuat banyak orang disekeliling Iman memaklumi situasi ini.

Kasus II          

Desti seorang perempuan lulusan Diploma-3 Tehnik dengan beasiswa di Singapura, juga sejak kanak-kanak pendiam dan selalu menarik diri jika  ia berada diantara orang-orang baru. Ia biasanya selalu bingung dengan apa yang akan dikatakan. Namun dengan teman-teman yang dianggapnya dekat ia menjadi sosok orang yang berbeda. Ia merupakan orang yang percaya diri, cerewet dan penuh humor. Keluarganya sendiri juga merupakan orang-orang sibuk, sehingga tidak mementingkan bagaimana Desti harus berteman. Bagi kedua orang tuanya sepanjang ia mendapatkan nilai baik dan tidak berkonflik dengan temannya tidak ada yang perlu dipermasalahkan dalam kehidupannya. Menjelang kelulusan sekolahnya kesulitan untuk berinteraksi di lingkungan sosialnya dirasa menganggu dirinya. Ia kesulitan untuk mencari pekerjaan. Banyak sesi wawancara kerja yang gagal dan dihindarinya. Ia merasa khawatir jika orang lain menganggapnya bodoh atau membosankan. Situasi ini membuat Desti frustasi dengan dirinya sendiri.

            Iman dan Desti merupakan sedikit kasus yang saya tangani dalam ruang praktek saya sebagai psikolog klinis. Riwayat perjalanan masalah yang mereka rasakan telah ada sepanjang fase kanak-kanak dan dirasa bermasalah hingga mereka semakin dewasa. Jika kita lihat lebih seksama mereka adalah anak-anak yang pemalu sejak masa kanak-kanaknya dan mengembangkan komunikasi yang selektif dengan orang disekeliling mereka. Perilaku ini membuat mereka dilabel sebagai anak pemalu, pendiam bahkan introvert. Semakin dewasa kesulitan ini menjadi semakin bertambah ketika mereka dituntut fleksibiltas penyesuaian diri yang cepat dan banyaknya peran yang harus dilakukan sebagai individu dewasa.

Penulis melihat bahwa kasus ini merupakan mutisme selektif anak-anak yang permasalahnya belum ditangani dengan baik hingga mereka beranjak dewasa.  Mutisme selective (SM) adalah gangguan kecemasan masa kanak-kanak yang ditandai oleh ketidakmampuan seorang anak untuk berbicara dan berkomunikasi secara efektif dalam situasi sosial. Secara klinis mutisme selektif jarang sekali pada kasus dewasa, lebih banyak pada anak-anak dimulai usia tiga sampai enam tahun. Meskipun tidak menutup kemungkinan jika tidak ditangani dengan baik akan berkembang hingga dewasa. Oleh karenanya menyebabkan mutisme selektif pada dewasa menjadi kasus yang sangat kompleks. Fakta bahwa kondisi ini terus bertahan hingga penderita dewasa, berarti entah karena selektif mutismenya sangat akut hingga pengobatan gagal, pengobatannya tidak pas, atau justru tidak pernah diobati sama sekali.

Pembahasan mengenai kasus mutisme selektif pada kasus-kasus dewasa menurut penulis sangat minim referensi buku dan penelitian baik di indonesia sendiri maupun referensi di luar negeri, bahkan banyak referensi dan badan kesehatan dunia mengatakan mutisme selektif ini hanya di derita oleh kanak-kanak saja. Padahal dewasapun bisa menderita mutisme selektif yang kalau gejala semakin berat akan dapat mengarah pada catatonic schizophrenia.  Gejala-gejala mutisme selektif dewasa ini dalam beberapa referensi sangat tumpang tindih dengan gangguan kecemasan lain, gangguan kecemasan sosial,  phobia sosial, dan phobia spesifik. Artinya dapat dikatakan belum ada diagnosa formal untuk kasus-kasus ini, meskipun sangat nyata ada dalam kehidupan sehari-hari. Ada bererapa referensi yang memasukannya secara global yaitu social anxiety disorder (SAD) atau kecemasan sosial.

 Survey di Amerika, sebanyak 15 juta orang dewasa atau 6,8 % dari populasi mengalami sosial anxiety disorder. Di Indonesia menurut data yang dihimpun WHO, kejadian keseluruhan kasus gangguan kecemasan di Indonesia mencapai 8 juta atau 3,3 dari populasi. Sosial Anxiety Disorder (SAD) umumnya dialami baik pria maupun wanita dimulai dari usia 13 tahun. Menurut survei ADAA (Anxiety Depression Association of America) pada tahun 2007, 36% orang dengan gangguan kecemasan sosial mengalami gejala selama 10 tahun atau lebih sebelum mencari bantuan ke profesional.

Social Anxiety Disorder (SAD) atau gangguan kecemasan sosial sering juga disebut fobia sosial. Seseorang dengan fobia sosial mengalami kecemasan yang cukup intens serta merasa takut akan di-judge, dinilai negatif, atau tidak diterima dalam lingkungan sosialnya. Seseorang dengan SAD seringkali merasa gugup ketika berada dalam lingkungan sosial mereka. Mereka memiliki ketakutan akan salah bicara, cemas tidak bisa beradaptasi, bingung membangun percakapan yang mengalir, sehingga akhirnya membuat mereka terkungkung dalam pikiran-pikiran sendiri.

Berdasarkan Diagnostic and Statictical Manual of Mental Disorder (DSM)-V, gangguan kecemasan sosial ditandai dengan ketakutan atau kecemasan terhadap situasi sosial yang memungkinkan seseorang untuk diawasi atau diperhatikan. Individu tersebut merasa takut akan bertindak dan berlaku tidak sesuai, memalukan, bahkan menyinggung orang lain yang kemudian akan membawa pada penilaian negatif terhadap dirinya. Ketakutan dan kecemasan yang dialami ini seringkali tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ditimbulkan oleh situasi sosial. Apabila hal tersebut tidak bisa terkontrol, maka beberapa dari mereka dengan SAD memilih untuk menghindari berbagai kegiatan atau aktivitas sosial. Penghindaran ini bersifat persisten, biasanya terjadi selama 6 bulan atau lebih.

Rasa cemas, takut serta penghindaran terhadap situasi sosial pada seseorang dengan SAD menyebabkan distress atau gangguan signifikan secara klinis. Selain itu, rasa takut, cemas dan penghindaran tersebut tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat tertentu (obat-obatan) atau kondisi medis lain. Ditambah lagi, seseorang dengan SAD biasanya juga merasakan sensasi-sensasi seperti wajah memerah (blushing), berkeringat, jantung berdetak cepat, gugup, gemetar atau tremor, mulut kering, sesak napas, dan merasa lemas ketika dihadapkan pada situasi-situasi sosial. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline