Lihat ke Halaman Asli

Ni Luh Ratna

Akuntan - Mahasiswi Magister Akuntansi Universitas Esa Unggul

Risiko di Balik Sahnya Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA)

Diperbarui: 6 Juli 2024   15:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis: Ni Luh Ratna Puspa Dewi (Akuntan, Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Esa Unggul/dokpri)

OPINI. Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pertama kali diusulkan pada Sidang Paripurna DPR tanggal 30 Juni 2022 dan telah disahkan tanggal 4 Juni 2024 pada Rapat Paripurna DPR ke-19 Masa Sidang V 2023/2024. Pada 3 Juli 2024, Presiden Joko Widodo pun resmi menandatangani Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan ini.

Ibu I Gusti Ayu Bintang Darmawati selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), mengungkapkan bahwa diharapkan UU KIA menjadi perwujudan cita-cita dan komitmen DPR dan pemerintah mengenai kesejahteraan ibu pekerja dan anak secara komprehensif sejak seribu hari pertama kehidupan.

Aturan yang disorot pada UU KIA ini adalah penambahan hak cuti bagi ibu pekerja yang semula selama 3 (tiga) bulan, kini ibu berhak atas cuti tambahan paling lama 3 (tiga) bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Kondisi khusus yang dimaksud apabila ibu mengalami masalah kesehatan, komplikasi pasca persalinan, atau keguguran, serta jika anak yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan dan/atau komplikasi. Cuti melahirkan tersebut wajib diberikan oleh pemberi kerja, dengan skema penggajian upah penuh pada bulan pertama hingga keempat, dan 75% dari upah di bulan kelima dan keenam. Seorang ibu yang sedang cuti melahirkan juga tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya.

Kemudian, suami yang mendampingi istri melahirkan juga berhak atas cuti selama 2 (dua) hari, dan dapat diberikan paling lama 3 (tiga) hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan. Jika istri mengalami keguguran, suami juga berhak atas cuti selama 2 (dua) hari. Selain hak atas cuti, UU KIA menyatakan suami berkewajiban mendukung istri memberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif pada anak selama 6 bulan pertama.

Meskipun pengesahan UU KIA ini dianggap berpihak pada perempuan khususnya ibu pekerja, namun terdapat pula beberapa risiko di balik sahnya UU KIA antara lain sebagai berikut:

1. Marjinalisasi Pekerja Perempuan

Marjinalisasi pekerja perempuan merupakan suatu usaha dalam membatasi atau meminggirkan posisi pekerja perempuan. Menurut akademisi sekaligus Ketua Umum Solidaritas Pemersatu Bangsa Indonesia (SPBI), Dr. Iswadi, M.Pd, pengesahan UU KIA ini berpotensi memicu marjinalisasi pekerja perempuan karena perusahaan menjadi cenderung enggan merekrut tenaga kerja perempuan. Hal ini dikarenakan tambahan cuti melahirkan yang cukup lama sehingga mengurangi produktivitas pekerja perempuan dan di sisi lain dapat membebani perusahaan untuk mencari tenaga pengganti serta menggaji pekerja yang cuti dan tenaga penggantu tersebut. Akibatnya, perusahaan dikhawatirkan lebih memilih mempekerjakan karyawan laki-laki dibandingkan perempuan sehingga mengurangi lowongan kerja bagi perempuan. Dikhawatirkan pula perempuan tidak diberi kesempatan untuk menduduki posisi-posisi strategis dalam sebuah perusahaan. Risiko marjinalisasi pada pekerja perempuan akan menjadi tantangan dari upaya kesetaraan gender yang masih terus diperjuangkan di Indonesia hingga saat ini.

2. Diskriminasi antara Perempuan Pekerja Formal dan Pekerja Informal

Pada UU KIA disebutkan bahwa hak cuti melahirkan ini berlaku bagi pekerja formal baik berstatus karyawan tetap maupun kontrak. Tiasri Wiandani selaku komisioner sekaligus Ketua Tim Perempuan Pekerja Komnas Perempuan menyatakan kekhawatirannya terhadap kesenjangan pemenuhan hak cuti melahirkan pada perempuan pekerja formal dan informal terkait UU KIA yang baru saja disahkan. Pasalnya, hak-hak pada UU KIA dianggap hanya dapat dinikmati oleh pekerja perempuan di sektor formal. Padahal, mayoritas perempuan bekerja di sektor informal. Para pekerja perempuan di sektor informal seolah berada dalam posisi dilema untuk mengambil hak cuti melahirkan lantaran takut akan diberhentikan dan kehilangan pekerjaannya.

3. Pelanggaran atas Hak Cuti Melahirkan bagi Ibu dan Cuti Pendamping bagi Ayah

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline