Lihat ke Halaman Asli

Love dua setengah tahun part 2

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menjumpai diriku yang sekarang masih termenung dalam kesendirian. Semua kejadian beberapa saat lalu, semua kejadian ketika aku sebagai seorang Nad yang bodoh tiba-tiba di tembak oleh Rio, semua nyatanya hanyalah sebuah mimpi. Aku baru mengetahuinya sekarang. Karena saat ini, aku sendirian. Tanpa siapapun. Termasuk dirinya yang dulu benar-benar menjadi opsesi terbesarku. Semua lenyap.

Namun, sudahlah. Tidak bagus bila kita terus-terusan menyesali apa yang sudah terjadi. Nad yang sekarang sudah bangkit dari keterpurukan cinta dua setengah tahun. Aku hidup dengan indah meskipun kenangan masa-masa SMK ku harus terkubur jauh-jauh pada tempatnya semula. Sekolah Tercinta. Kenangan tiga tahun lamanya soal persahabatan, permusuhan dan percintaan semua sudah menjadi kenangan. Hanya kenangan. Dan catatan, peristiwa penembakan itu, masih benar-benar hanyalah sebuah hayalan.

Nad, masih tepat menjadi Nad. Aku masih suka dengan pelangi dan hujan. Aku juga masih suka mengobrol panjang dengan sahabatku Vira. Juga masih suka menutup mataku saat angin menerjang tubuh kecilku. Aku juga tetaplah Nad yang ceria, penyayang, yang pandai dan punya sesuatu yang membuat seseorang mau berlama-lama berada di sebelahku. Aku tetap seperti itu. Meskipun karakter Nad di atas merupakan diriku yang dua tahun lalu.

Semenjak lulus dari sekolah tercintaku, aku memutuskan kuliah sambil bekerja. Aku kuliah dengan bantuan beasiswa dari sekolah karena prestasi yang sudah kutorehkan disana. Aku diterima menjadi mahasiswa jurusan sastra bahasa Indonesia dan mengambil studi 4 tahun. Yah.. kuliah sungguh menguras sebagian pikiran dan otakku. Aku senang, Vira tetap menemaniku. Kamipun masih menjadi rekan sebangku yang menyenangkan dan selalu bersama setiap saat. Dia sudah lain sekarang. Sudah jadi tambah cantik dan semakin modis. Buktinya, awal masuk sekolah, ia sudah dilirik oleh mahasiswa senior di universitas tempat kami belajar. Dan nyatanya, kini ia sudah menyandang hubungan pacaran dengan Febry –mahasiswa senior yang juga tidak kalah tenar dan cakep. Hehe- .

Sementara, aku sendiri, tidak tahu bagaimana hidupku saat ini. Aku kerap dekat dengan seorang laki-laki yang sesuai kriteriaku. Terkadang, beberapa laki-laki tersebut juga mengajakku untuk berpacaran. Tapi, entahlah. Aku masih saja tidak bisa menerima mereka. Kecuali pertemanan, aku tidak yakin bisa menerima mereka dan nantinya menyukai mereka. Aku, dengan sangat-sangat jujur, dengan sangat-sangat sadar, ku akui bahwa bayangan Rio lah yang tetap menjadi laki-laki satu-satunya di hidupku.

“Udah dapet bukunya?” Tanya Vira saat aku sampai di bangku diskusi tempatnya duduk saat kami berada di perpustakaan kampus siang ini. Aku memasang wajah sebal. Tanganku yang sudah memegang berbagai macam buku referensi, sudah tidak kuat lagi menahan beban buku tersebut. Vira malah menanyakan pertanyaan yang tidak berguna itu tanpa sedikitpun berusaha membantuku membawa ataupun meletakkan buku-buku referensi di meja. Tidakkah dia tahu bahwa aku daritadi sudah berkeliling mencari buku-buku tebal dan aneh ini?

“Udah. Tapi masih dapat sebagian. Gantian sana gih. Sekarang giliranmu nyari buku ensiklopedia. Dateline kita kan bentar lagi udah abis.” Ucapku selepas meletakkan buku-buku tersebut di meja. Aku duduk untuk mengatur tenagaku lagi. Vira mulai membuka salah satu buku yang aku bawa. Lalu, sebentar kemudian menuliskan beberapa kalimat di dalam buku ke buku catatan tugas kami. Tugas memang dari dulu selalu membuat repot. Dari dulu emang selalu begitu kan?

“Aduh, aduh..” Cemas Vira. Aku mengamatinya kaget. Vira memegangi perutnya terus menerus.

“Kamu gak papa?” Aku ikutan cemas.

“Aku ke toilet dulu yah? Kebelet.”

Ya ampun. Ada-ada saja tuh Vira. Membuatku kaget bukan main. Namun, aku masih saja terkaget-kaget menyaksikan pemandangan indah di depan mataku. Saking indahnya, pemandangan tersebut sangat-sangat membuat hatiku panas dan berdegup tidak karuan. Siapa lagi yang dapat menyebabkan reaksiku berubah seperti ini bila bukan Rio? Cowok yang “dulu” dan “sekarang” masih kukagumi itu, di depan meja diskusiku, ia tengah asik berduaan dengan pacarnya.

Apa aku belum menceritakan bila kami juga satu fakultas dan satu jurusan di Universitas ini? Aku awalnya juga kaget melihatnya duduk di bangku kelasku saat kami baru pertama masuk kuliah. Sadar-sadar, dia sudah menjadi teman sekelasku. Aku senang sih. Karena menurutku, dari situ aku bisa dekat dengan dia. Namun, semua khayalan itu berakhir. Saat aku tahu, dia berpacaran dengan Fey. Teman sekelasnya dulu.

Sakit hatiku benar-benar bertumpuk-tumpuk. Yang sanggup kulakukan ya hanya diam. Kalian pasti tidak akan menyangka, bahwa selama kuliah, kami jarang sekali mengobrol. Kami tidak pernah bertegur sapa, juga tidak pernah SMS an. Aku dan Rio jadi seperti orang yang tidak saling mengenal. Aku tidak berani menyapanya. Dan sepertinya, dia tidak punya niatan menyapaku selama ini. Toh, saat ini kan dia sedang sangat bahagia karena ada Fey di hidupnya. Aku, ataupun bayanganku, sudah benar-benar menjadi masa lalu baginya.

Fey baru saja melambaikan tangannya ke arahku. Ia memang sangat mengenalku kok. Karena dulu, saat masih SMK, kami dekat. Aku melambaikan tanganku ke arahnya. Rio menoleh dan menatapku sebentar. Setelahnya, dia memalingkan mukanya cepat. Tanpa memperdulikan senyumanku kepadanya.

Aku menundukkan kepalaku pasrah. Di fikiranku, aku merasa sangat bodoh. Harusnya, aku tidak pernah melakukan hal barusan. Meskipun itu senyuman. Aku bodoh karena telah menatap matanya yang hitam. Aku tahu, sebentar lagi, pasti aku akan menangis.

Aku tlah lelah mengikuti semua langkah kakimu

Dan berharap, bisa memilikimu

Berbagai cara telah aku lakukan untuk hidupmu

Hingga aku, mengorbankan hidupku

Buka hatimu… Bukalah sedikit untukku

Sehingga diriku bisa memilikimu

Betapa sakitnya.. Betapa sakitnya hatiku

Selalu dirimu tak menganggapku ada..

Armada- Buka Hatimu

Kenapa lagu ini bisa mengejekku sehebat ini? Batinku.

Aku menangis.di kamarku yang sepi, kuluapkan segala perasaan ini dengan cara menangis. Bodoh!! Yah, aku bodoh. Hanya bisa menangis demi seseorang yang tidak penting. Aku bahkan harusnya tidak melakukan hal tersebut untuk orang yang tidak pantas seperti dia.

Kenapa sih Rio tidak sama sekali memiliki hati? Kenapa sih Rio seperti sebuah batu yang hidup. Yang indah, yang membuat duniaku teralihkan, tapi keras dan diam. Kenapa Rio seperti pohon yang tidak menyadari bahwa daunnya sudah tumbuh? Kenapa Rio seperti orang asing yang tidak mengerti apa-apa?

Aku menangis melampiaskan kegundahan hatiku. Berkali-kali, ku amati foto Rio yang kusembunyikan di dalam Diary kesayanganku. Ku amati foto itu sampai air mataku benar-benar tidak kusadari sudah membasahi foto tersebut. Ku amati dalam-dalam. Sampai mataku berat, dan hanya gelap yang terasa.

“Nad…” teriak seseorang kepadaku. Aku menghentikan langkahku dan menoleh mencari si empunya suara. Ku dapati, Rio berlari menuju ketempatku. RIO… Bayangkan.. seorang Rio.

Dengan masih kaget, aku seakan baru saja bermimpi. Sampai aku tidak menyadari, Rio sudah berada di depan mataku.

“Nad.. masih idup kan?” ungkapnya mengagetkanku.

“Eh ya.. ada apa?” Kubiasakan nada suaraku. Aku harap, dia tidak mengerti bahwa aku sedang gugup.

“Gak ada apa-apa sih. Aku lagi pengen ngobrol aja. Belakangan ini, kita kan jarang ngobrol. Sibuk terus sih?”

Aku terkekeh mendengar perkataan Rio. Kami pun berjalan menuju kafetaria utama kampus. Kami sudah duduk dan mengobrol panjang lebar soal hal-hal yang ingin dibicarakan. Kami serasa tidak peduli dengan beberapa mata mahasiswa lain yang melihat ke arah kami karena merasa kurang nyaman akibat tawa kami yang terlalu keras. Berdetik-detik, bermenit-menit, semua terlewat. Sampai berjam-jam. Bahkan kami saling tidak menyadari, bila sejak tadi, ada dua orang yang terus memandangi kami dengan serius.

“Kamu deket lagi sama Rio ya Nad?” Tegur Vira saat malam ini ia menginap di rumahku. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Namun, kedua mata ini tidak bisa terpejam sama sekali. Akhirnya, kami pun sepakat mengobrol.

“Iyah. Ini juga lagi smsan sama dia. Hehehe… aneh yah?”

“Aneh banget. Tapi, aku curiga deh sama dia. Kamu masih inget soal kejadian di SMK dulu kan?”

Aku membenarkan posisi tidurku. Aku duduk di kasurku yang empuk sambil menatap wajah Vira dengan heran.

“Kejadian yang mana?” Ungkapku.

“Kejadian waktu kamu dimanfaatin sama dia. Dari dulu, sifatnya emang kayak gitu kan? Selalu ngehubungin kamu, selalu baik sama kamu. Paling dia juga lagi butuh. Liat aja, bentar lagi dia pasti minta tolong kamu. Kalo menurutku.” Jawabnya dengan nada mengejek.

“Kamu kok gitu banget sih Vir. Ngomong yang enggak-enggak. Shu’udzon itu namanya. Bilang aja kamu gak suka aku deket sama dia. Iya kan?” Aku sewot. Entah mengapa, aku sangat marah mendengar ucapan Vira barusan. Padahal, di dalam hatiku, aku membenarkan sifat Rio yang selalu ada di sebelahku saat dia butuh aku doank. Tapi, di sisi lain, aku seakan ingin menepis habis-habis kebenaran tersebut. Aku berprasangka bahwa Vira sedang tidak menyukai hubunganku. Apa ada teman yang seperti itu?

“Kamu kok jadi nyolot gitu. Aku kan cuman ngingetin. Lagian, harusnya kamu mikir, untuk apa dia tiba-tiba deketin kamu lagi. Akrab banget sama kamu. Padahal, dia udah punya Fey. Kenapa Nad? Kamu udah gak bisa nolak pesonanya? Itu alasan lama deh. Dan hanya patut dikatakan oleh anak SMK.”

“Aku gak nyangka Vir. Kamu bisa ngomong sepicik itu. Apa ada sahabat yang gak suka temannya bahagia? aku sayang sama dia Vir. Aku tahu, kamu pasti ngerti sejak dulu. Dan dengan sangat sadar, aku akui aku pengen deket sama dia. Sekarang, saat aku punya kesempatan deket, kamu bilang kayak gitu? Ya ampun, Vir. Kamu benar-benar…”

“Nad, aku gak pengen kayak gini. Aku cuman pengen ngingetin kamu aja. Agar kamu gak nyesel, gak ngulangin kesalahan yang sama. Aku gak pengen, seorang Nad nangis di depan mataku, demi seorang cowok yang gak pantas buat kamu. Tuhan itu gak tidur Nad. Dia pengen kamu buka mata kamu. Sebelum kamu benar-benar bisa berada di sebelahnya. Sampai saat ini, kamu gak bareng dia kan? Itu berarti, dia gak pantas sama kamu. Dia cuman pengen manfaatin kamu doang. Asal kamu tahu, Nad.”

“Ahh.. tahu darimana kamu. Mimpi ato apa? Ato jangan-jangan, gara-gara kamu sudah pacaran sama Febry, trus Febry yang membuat kamu berubah kayak gini.”

Aku naik darah, Vira pun demikian.

“Jangan bawa-bawa kak Febry dalam masalah kita. Asal kamu tahu ya Nad. Kak Febry lah yang ngasih tahu aku, dengan mata kepalaku sendiri soal kelakuan pangeran kesianganmu itu. Dia yang ngasih tahu. Soal gimana buruknya sifat Rio. Sayang, matamu udah begitu dibutakan oleh Rio.”

Aku benar-benar sangat marah pada Vira. Ini pertengkaran hebat yang baru pertama kali terjadi. Aku membenarkan posisi tubuhku kembali. Kali ini, ku hempaskan tubuhku ke kasurku kembali. Vira masih diam dengan posisi tubuhnya yang selonjor indah di sebelahku. Ia tetap menatap lurus mataku.

“Udahlah Vir. Aku males bertengkar saat ini. Terserah kamu suka dengan hubunganku sama Rio atau enggak. Yang jelas, kamu gak berhak ngatur-ngatur aku.” Ucapku kemudian. Ku pejamkan mataku dengan penuh paksaan. Aku harus tidur dan melupakan kejadian ini.

“Terserah kamu. Seharusnya, kamu sadar bahwa di tempat lain, ada orang yang jauh menyayangimu di bandingkan dia. Mudah-mudahan.” Gumam Vira padaku. Aku pura-pura tidak mendengarkannya. Namun, sebetulnya, sampai aku bangun dari tidurku pagi harinya, sampai tubuh Vira sudah tidak kutemukan lagi di kamarku, aku masih memikirkan kata-kata terakhir Vira.

Dua hari, tanpa seorang sahabat. Vira marah sama aku gara-gara kejadian waktu malam hari itu. Dia gak mau ngobrol sama aku, deket sama aku, bahkan duduk sebangku denganku. Aku sih pengen minta maaf sama dia. Tapi, egokulah yang selalu membuatku membuang pikiran itu jauh-jauh. Aku gengsi? Mungkin iya. Tapi, aku setidaknya bersikap seperti ini hanyalah untuk membuat Vira belajar menghargai orang. Dia, tidak sama sekali menghargai prifasiku. Dia tidak suka apa yang aku lakukan, dia tidak suka aku mendapatkan apa yang aku ingin. Dan kesimpulan yang dapat ku ambil, dia gak pengen aku deket –deket lagi sama Rio. Gak wajar banget kan? Apa ada sahabat yang seperti itu. Seumur-umur, baru kali ini aku mengalami hal seperti ini. Menurutku, dia sudah terlalu ikut campur masalahku. L

Siang ini, aku sedang duduk di depan laptopku di kafetaria utama kampus. Sendirian sambil serius mengerjakan tugas-tugas kuliahku yang sudah banyak menumpuk. Tiba-tiba, sesaat kemudian,segerombolan mahasiswa tenar masuk ke dalam kampus. Diantara gerombolan itu, ada Rio, Fey, dan juga Edo. Mereka berjalan menuju meja panjang di dekat mejaku. Aku melirik sekilas ke gerombolan mahasiswa urutan nomor satu di fakultasku. Mereka keren dan gaul. Aku sempat berharap masuk dalam gerombolan tersebut. Namun, begitu melihat Fey, semuanya seperti mimpi buruk. Aku tidak mungkin bisa mewujubkan hal tersebut. Lihat saja, dari arah manapun, aku tidak akan seperti Fey.

Aku memandang tajam ke arah Rio. Aku berdoa dalam hati, semoga ia tersenyum ke arahku dan mengajakku mengobrol seperti biasanya. Namun, aneh sekali. Hari ini, ia bahkan seperti tidak melihatku berada di sekitar situ. Ia tidak mau menyapaku, maupun melirikku. Padahal kemarin…

“Hey, Nad. Kamu masih inget aku?”

Pertanyaan bodoh itu terlontar dari Edo. Sejak kapan dia berada di sebelahku.

Aku memasang tanpa kaget ke arahnya. Cowok itu masih memandang dengan serius ke arah script tugasku di laptop.

“Sejak kapan kamu ada di sini?” Ucapku.

“Dari kemarin malem. Ya barusan aja dong nona.? Makanya, liat situasi. Kafetaria rame begini, kamu ngelamun. Aku tahu kamu lagi ngeliatin yang ada di sana?” Edo menunjuk Rio yang tengah asik berbincang dengan geromboralnya.

Aku menyenggol pundaknya setengah terkejut. Edo emang usil banget. Dari dulu, dialah yang suka nyomblangin aku sama Rio. Edo kan sahabat baiknya Rio. Gak tahu awalnya dari mana, dulu, dia suka usil menjodohkan aku dengan Rio.

“Ihh,, apa’an sih Do. Basi tahu.” Ungkapku pelan.

“Kamu udah gak sama dia?”

“Maksudnya? Emang dari dulu kita ada apa’an? Cuman temen kan?”

Edo Usil. “Ahh, masa’? kenapa sih Nad. Kamu gak pinter nyembunyiin perasaanmu? Aku tahu kamu suka sama dia. Cuman orang bego yang gak tahu itu.”

“Apa’an sih do. Aku gak ada apa-apa. Rio, yang ada di sana tuh, udah punya pacar. Aku, dari awal juga gak pacaran sama dia. Suka, apalagi. Udah deh. Kamu aneh-aneh aja.”

“Masa’ sih? Aku tetep gak percaya. Kamu pasti suka sama dia. Kamu gak bisa boong sama aku Nad.” Edo masih ingin tahu.

“Gini ya Edo. Liat temenmu itu. Rio udah pacaran. Sama Fey. Temenmu juga. Kenapa sih, kita selalu membahas soal Rio bila kita ngobrol. Tuh, ke tempatmu lagi. Aku lagi sibuk.” Jawabku sok sibuk. Aku mau menghindar aja ah. Aku sadar diri kok, Edo bukan orang yang bisa di boongin.

“Ooh, mbak ini ngusir? Okey. Aku akan pergi. Ehm, satu lagi. Mo titip salamm gak buat Rio? Hehehehe..” Usil Edo lagi..

“Hemm.. dasar..”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline