Dekandensi moral terdiri dari dua kata, yaitu morali dan dekadensi. Moral secara etimologis berasal dari kata latin mores yang berarti adat. Adat menurut Stutter mengacu pada kelompok orang tertentu atau kebiasaan, praktik, standar, norma, dan kode yang diterima secara umum yang mengatur aktivitas kelompok sesuai dengan kewajiban agama dan sosial. perbuatan atau akhlak yang baik. Seseorang bertindak secara moral ketika perilakunya dianggap salah dalam masyarakat tertentu.
Menurut pandangan Islam, akhlak adalah sikap mulia yang diamalkan oleh orang-orang yang memiliki kehendak dan tujuan mulia, sedangkan orang yang berakhlak adalah orang yang memiliki akhlak mulia dalam kehidupannya, lahir dan batin, sesuai dengan dirinya dan orang lain. Prinsip-prinsip moral yang diperkenalkan oleh Islam bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia, yang meliputi perilaku dalam interaksi dengan individu dan kelompok dalam masyarakat.
Di Indonesia, pendidikan disertai dengan dekandensi moral sangat memprihatinkan. Perubahan sosial yang dialami siswa di lingkungan sekolah dan masyarakat tidak terlepas dari dampak peningkatan teknologi di era globalisasi. Aspek pertumbuhan teknologi yang paling terlihat adalah kemajuan dan budaya di lingkungan sekolah dan di masyarakat luas. Namun dapat dipahami bahwa terjadinya dekandensi moral pada generasi muda disebabkan karena hal-hal baru yang mereka terima tidak terkontrol, sehingga sulit untuk menentukan mana yang baik dan mana yang tidak. Generasi muda mulai mengambil keputusan sendiri tentang hal-hal baru ini dan sulit menerima nasihat yang diberikan kepada mereka, terutama tentang hal-hal baru yang mereka sukai.
Moralitas didefinisikan sebagai kualitas perilaku yang benar atau salah dalam kaitannya dengan standar moral yang diterima sebagai sistem standar moral tertentu. Artinya, apa yang tampak benar di satu komunitas mungkin salah di komunitas lain. Ini memunculkan banyak definisi moralitas, Aristoteles memulai dengan mengatakan bahwa moralitas ditemukan dalam moderasi. Itu adalah "jalan emas" atau moderasi yang sebenarnya. Aristoteles percaya bahwa moderasi adalah jalan tengah antara romansa dan kelemahlembutan. Dan kesombongan adalah jalan tengah antara kesombongan dan kerendahan hati. Demikian pula, keberanian berada di antara rasa takut dan agresi. Patergoras, filsuf Yunani kuno, menegaskan bahwa "manusia adalah ukuran segala sesuatu". Ini berarti bahwa kehendak setiap orang adalah ukuran kebaikan dan kejahatan.
Hal yang benar secara moral untuk dilakukan adalah apa yang benar secara moral bagi saya dan mungkin salah bagi orang lain. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa hak etis atau kebaikan moral ditentukan oleh kehendak individu. Di sini tindakan dianggap benar oleh individu, meskipun itu kejam, penuh kebencian, atau tirani. Menurutnya, teori etika ini ketika diimplementasikan membuat komunitas manusia tidak berfungsi, karena jika setiap orang melakukan apa yang mereka inginkan dan apa yang menyenangkan individu, itu akan dianggap etis, kekacauan terjadi. Oleh karena itu, masyarakat membutuhkan persatuan dan komitmen terhadap standar etika tertentu.
Istilah kurikulum pertama kali digunakan dalam dunia olahraga pada zaman Yunani kuno, berasal dari kata curir dan cure. Saat itu, kurikulum didefinisikan sebagai jarak yang harus ditempuh seorang pelari. Orang mengistilahkan dengan arena pacuan kuda dari start sampai finish. Kurikulum adalah alat yang menjadi acuan dalam pelaksanaan suatu kegiatan yang direncanakan dan disusun secara sistematis untuk mencapai tujuan yang sama. Dalam dunia pendidikan, kurikulum digunakan sebagai acuan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, dalam konteks RPP, penting untuk memahami pengertian kurikulum dalam arti sempit dan luas.
Kurikulum sebagai perangkat dan acuan dalam proses belajar mengajar, harus dirumuskan untuk menjawab tantangan zaman danmemenuhi kebutuhan peserta didik, tidak hanya dalam hal mendapatkan pekerjaan akan tetapi dapat menjadi rahmatan lil aalaminatau dapat menjadi pedoman hidup bagi peserta didik dan dapat mendatangkan rasa aman dan kebahagiaan.
Dalam hal ini ada dua hal yang menjadi fokus perhatian yaitu Pertama kurikulum sebagai sebuah sistem dan acuan dalam mengelola proses pembelajaran, dan kedua adalah Rahmatan lil Alamin sebagai satu sistem nilai yang berlaku secara universal untuk kemaslahatan umat manusia.
Peran kurikulum dan dinamika perkembangannya, di antaranya Idealisme dibangun sebagai paradigma utama Pendidikan dengan kebutuhan pragmatis yang menjadi dasar bagaimana peserta didik menjalani kehidupan, bukan dikotomi kontradiktif, tapi bagaimana kurikulum bisa menambah warna pelatihan komprehensif secara keseluruhan berkembang kognitif, afektif dan psikomotor siswa nilai dan budaya masyarakat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H