Lihat ke Halaman Asli

Kebaikan yang Wajar

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tulisan saya kali ini ingin berkisah, bagaimana sebuah kerudung
menyadarkan saya tentang arti penting sebuah kebaikan yang wajar. Serta gara-gara kerudung pula saya mengetahui
karakter teman-teman saya.

Seperti biasa, rutinitas di kampus
ku dimulai pada pukul 04.30 WITA . Aerobic
pagi dilakasanak setelah Sholat Shubuh dan berakhir pada pukul 06.00. Setelah
itu kami bersiap untuk Upacara makan pagi yang dilaksanakan pukul 06.45 . Sebelumnya, kami harus bersiap di DP (daerah persiapan)
pukul 06.25 . Hanya 20 menit untuk mandi, pakaian, plus lari ke DP. Kejadian
hari itu begitu membekas dalam ingatanku, karena untuk pertama kalinya kami
ketinggalan makan pagi.

“putri…..cepat
dek….hitungan ke 10 sudah harus sampe di DP”

Kami tahu
suara itu berasal dari mana, kakak polpra (polisi Praja).

“sa..tu…..du…a…..adek
putri yang di sana, lari dek….” Suaranya yang tegas dan serak cukup
menggambarkan kegeramannya kepada sikap kami yang masih ele-elean. Terdengar
sangat jelas.

Sementara di
barak tinggal aku (sultra), eny (kalsel), novi (jateng), dan keyrin (Babel). Sebenarnya
kami bersembilan. Namun yang selalu telat adalah kami berempat. Karena pergerakan
kami terkendala pada kerudung yang kami gunakan.

“ny, udah
dihitung …aku belum selesai, tolong aku ya. Aku nggak mau telat”. kata novi
dengan mimik tegangnya. Kondisi yang begitu menegangkan membuat adrenalin ku
naik. Batinku bergemuruh mendengar permintaanya. “aduh nih orang egois sangat,
padahal keadaan kita kan sama. ”andai saja aku tidak mengetahui karakternya
yang memang seperti itu akan ku katakan apa yang ada dibenak ku saat itu juga.
Untunglah aku masih ingat betapa ia menangis semalam suntuk karena aku
mengoreksi cara ia membacakan naskah-naskah drama yang ku buat siang malam
seperti membawakan suatu upacara bendera. Banyak hal yang biasa membuat
hubungan ku dengannya menjadi memanas. Secara aku yang egaliter sementara di
paternalistik. Aku begitu menggebu-gebu berbuat sesuatu, ingin cepat selesai.
Sementara dia, begitu menikmati segala proses yang bagiku sangat menyiksaku.
Gregetan aku oleh tingkahnya. Untung saja ketika api dihatiku membara akan
selalu ada air dari Eny yang menyejukkan jiwa. Tanpa ku sadari aku pun begitu
menilai diriku lebih baik darinya.aku terkungkung dalam egoku, sehingga tidak bisa menilai objektif. Untungnya, eny selalu menjadi penengah kami
berdua. Meski terkadang ia pun menyerah, namun ia lebih bisa menahan emosinya disbanding
aku.

Lain halnya dengan novi, keyrinterlihat lebih santai. Dia adalah tipe wanita
yang selalu ceria. Dalam hidupnya, tiada hari tanpa senyuman dan rasa syukur pada Ilahi. ia
berdiri tepat di depan kaca besar,asyik merapikan jilbabnya.

“santailah
mbak, paling push up”. Meski mukanya cuek namun sebenarnya dialah yang paling
tegangdiantara kami semua. Mendengar ucapan keyrin, aku dan eny langsung
tersenyum. Kami tahu bagaiman mimic dongkol novi selanjutnya.

“nggak key,
bukan itu. Tapi malunya itu lho.” Dengan logat jawanya yang mendayu-dayu
lembut.

“oh kawan,
kamu tidak sendiri. Ada kami juga disini.” Imbuh ku ketus.

Tersadar
bahwa kami tidak akan bisa berada di DP seperti biasa. Jika begitu maka
Planning B adalah Cara paling aman yang akan kami laksanakan yakni
bersembunyi.heheheh…..

“empat….lima….”

“yang
dibarak cepat sedikit dek, kalian sudah terlambat…”.

“nggak papah mbak, kita lakukan semaksimal mungkin.
Sini jilbab mbak ku rapikan. “ imbuh eny yang selalu mencoba menenangkan.

“ssssstsss….”keyrin
memberi komando.

Sementara
Eny merapikan jilbab mbak Novi. Aku merapikan jilbab eny dan jilbabku dirangkai
oleh keyrin. System kerjanyaberantai.
Suara kakak polpra yang terus menghitung seirama dengan pacuan jantungku yang
terus berdegup tegang. Kurasakan helaan nafas ketegangan yang sama pada keyrin
ketika ia menarik napasnya. Pendek dan cepat. Semakin dekat hitungannya ke
angka 10, semakin cekatan pula tangan keyrin merangkai jilbabku. Dan…

“mbak, punya
mbak udah selesai. Pergilah. Masi sempat koq “ kata eny

Namun sayang
novi tak bergerak se inchi pun dari tempatnya berdiri. Dan kami tersadar tak
terdengar lagi pergerakan sol sepatu teman-teman yang menandakan waktu tidak
dapat ditolerir lagi. Kami tahu kisah apa yang akan membalut hari-hari kami
selanjutnya.

“ yaa, mbak telat. mengapa tadi tidak langsung lari aja?”ungkap ku.

“nggak
en,nil,aku tidak akan meninggalkan
kalian. Kita sma-sama. Aku nggak mau selamat sendiri.” Jelas mbak novi.

“emang napa
mbak, kami nggak masalah koq?”imbuh ku ingin tahu alasannya.

“nggak nil ,
mau di push up, atau dicap Mantul 2(makan tulang)kek, aku ngak
peduli. kita hadapi sama-sama”.

Aku terdiam.
Bagikumembantu merapikan kerudungnya
adalah hal yang wajar yang akan kulakukan pada teman yang lain. Ku tekankan
pula ia tidak usah merasa khawatir tentang perasaan kami . Maka sah-sah saja
kalau ia pergi meninggalkan kami. Namun
mengapa ia justru menolaknya? Awalnya ku
kira ia merasa tidak enak karena harus meninggalkan kami bertiga yang telah
membantunya . Namun ternyata tidak. Otakku
ternyata menangkap satu hal yang selama ini luput dari indera perasa ku sebagai
manusia. Aku tersadarkan, Bahwa kerelaan
untuk berkorban dan berbagi adalah kunci mengapa kebaikan itu menjadi wajar
untuk dilakukan.
ketika kami
memberikannya kebaikan dengan perlakuan yang
wajar, justru saat itulah hatinya tersentuh untuk merespon lebih baik
dari yang dilakukan orang kepadanya.

Dan hari ini , aku
belajar satu lagi tentang makna sebuah kebersamaan dan ini hanya gara-gara
sebuah kerudung. Jika kita mau merenungi maka banyak hal yang sebenarnya dapat
mengajarkan kita tentang makna kehidupan lainnya.

1.Model dan jenis kain jilbab yang kami
kenakan sama halnya dengan jilbab yang dipakai dengan teman-teman di
universitas yang lain, persegi empat. Yang membuatnyasedikit berbeda adalah bordiran di tepi
kainnya yang berbenang emas yang salah satu sudut kainnya terukirir nama
institusi kami. Namun yang menjadikannya istimewa adalah cara merangkainya.
Sembilan titik yang mesti dihubungkan dengan menggunakan 7 jarum pentul dan 2
buah peniti (bentuk dan jenisnya pun diseragamkan).Rumit. Yup, tepat sekali. Tingkat
kerumitannya terletak pada bagian belakang jilbab yang akan di rangkai membentuk
mangkok. Dan sudah barang tentu hal tersebut memerlukan bantuan orang
lain.

2.Resiko dari indisipliner yang paling
menakutkan bagi putri adalah hukuman social. Setiap praja yang dengan sengaja
tidak mengikuti kegiatan akan diberi label sebagai pemantul ulung. Seorang yang
sering mantul adalah orang yang egois, dan tidak setia kawan yangsecara otomatis jika cap ini telah tertempel
di jidatmu maka kamuhanya akan memiliki
teman yg sedikit. Setiap kesalahan mu akan di ungkit orang. Parahnya, tidak
hanya seangkatan tapi juga oleh senior. Dan jika telah di ketahui senior maka
urusannya telah lain, termasuk kesalahan
besar
karena pencemaran nama baik kontingen. Hiperbolanya, seluruh dunia
akan menghujatmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline