Lihat ke Halaman Asli

Nila Nur H

Mahasiswi

Perlindungan Hukum Korban Tersangka Salah Tangkap Pada Proses Penyidikan oleh Aparat Kepolisian

Diperbarui: 26 Mei 2024   02:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya harus diberikan sanksi berdasarkan pemidanaan yang ada di hukum positif yang berlaku. Namun, Negara Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia memiliki hukum acara pidana yang mengatur prosedur pengenaan pidana sebagai suatu upaya ultimum remedium agar setiap tahap baik dari penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan dapat dilaksanakan tanpa menciderai hak warga negara. Berdasarkan pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 8  Tahun  1981 tentang  Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana  (KUHAP), tersangka adalah seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan. Dengan kata lain, seseorang dapat dinyatakan sebagai tersangka apabila terdapat bukti permulaan yang menunjukkan bahwa ia patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Seseorang tersangka pelaku tindak pidana harus dibuktikan di persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum, sedangkan posisi tersangka yang statusnya naik sebagai terdakwa memiliki hak untuk didampingi oleh Penasihat Hukum demi memastikan bahwa tidak ada hak asasi yang dilanggar. Kendati telah diatur sedemikian rupa di dalam hukum acara pidana, tindakan salah tangkap yang dilakukan oleh pihak kepolisian masih kerap terjadi. 

Pada masa pemeriksaan, pihak penyidik dari kepolisian seringkali melanggar peraturan yang ada pada KUHAP dengan membuat pemeriksaan tersangka dengan cara kekerasan. Pemeriksaan dengan cara-cara kekerasaan tersebut yang membuat banyak sekali korban salah tangkap yang terpaksa mengakui tindak pidana yang sebetulnya tidak diperbuat oleh tersangka. Larangan penyidik untuk menggunakan cara kekerasaan tercantum di dalam Perkap 8/2009, yakni Pasal 11 ayat (1) yang menyatakan bahwa Kepolisian dilarang untuk melakukan "(a) penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum;(b) penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan.Selain itu pada ketentuan Pasal 8 ayat (1) KUHAP memiliki norma yang berasal dari asas praduga tidak bersalah atau yang dikenal dengan asas presumption of innocence. Asas ini memuat makna bahwa seseorang yang dipersangkakan, ditangkap, ditahan, dituntut, serta dihadapkan di pengadilan harus dianggap tidak bersalah hingga ada putusan pengadilan yang telah inkracht yang menetapkan bahwa seseorang itu adalah sebenar-benarnya pelaku tindak pidana. Hal tersebut sejalan dengan fakta bahwa keadaan seseorang yang menjadi tersangka memiliki kedudukan yang tidak seimbang dengan aparat. Oleh karena itu, kerugian yang diterima oleh korban salah tangkap harus diperhatikan menjadi sebuah isu yang serius karena korban salah tangkap biasanya mengalami siksaan fisik dan mental bahkan direnggut kebebasannya melalui sanksi pemenjaraan.

Seseorang yang memiliki catatan kriminalitas di kepolisian biasanya menerima sanksi sosial dari masyarakat, sehingga diperlukan adanya pemulihan nama baik dari korban salah tangkap. Menurut KUHAP atas tindakan penahanan tidak sah tersebut maka berlaku pemberian rehabilitasi dan ganti kerugian kepada korban. Rehabilitasi diartikan pada "Hak  seseorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan,    kedudukan dan harkat serta martabatnya    yang diberikan pada tingkat penyidikan,  penuntutan atau peradilan karena di tangkap,  ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau   karena kekeliruan mengenai orangnya atau   hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini", sedangkan ganti kerugian memiliki makna "Hak   seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan   sejumlah uang karena ditangkap, ditahan,    dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang  berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur   dalam Undang-Undang ini". Tidak hanya itu, aparat penyidik yang melakukan pelanggaran kode etik kepolisian dengan menerapkan cara-cara kekerasan dalam pemeriksaan tersangka juga wajib mendapat sanksi etik dari lembaga kepolisian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline