Agus tiba di rumah bersama sang istri kekasih. Dia bergerak ke kamar putri kesayangannya. Senyumnya merekah melihat sang putri tidur nyenyak.
“Papa sayang kamu, Nak!”, ucapnya dalam hati sambil mengecup kening buah hatinya.
Baru saja Agus mengikuti acara debat terakhir untuk pemilihan kepala daerah. Perjalanan kampanye yang melelahkan sudah dilalui. Betul-betul melelahkan. Dia duduk menyendiri di sofa. Terletak remote tv di sandaran tangan sofa, namun Agus enggan meraihnya. Terbayang sebuah suasana hiruk pikuk tentang berita terkini. Pikirnya, ulasan-ulasan debat hanya akan menambah beban di otak.
Pandangannya sejenak tertuju pada tumpukan kertas-kertas yang dibawa pas acara debat. Ah, itupun tidak membantu untuk menenangkan pikiran. Ia lalu bersandar untuk membuat rileks, pandangannya ke langit-langit dan heeeuhhhh, terasa hembusan nafas yang panjang.
Ia lalu merogoh kantong, meraih ponselnya. Ada banyak tumpukan pesan yang belum terbaca. Dia pun mengabaikan dan langsung menuju menu untuk bertelepon. “Memanggil Pepo....”.
Malam sudah semakin larut, namun masih ada jawaban di ujung telepon.
“Iya Nak, ada apa?”, sahutan dari seberang sana.
“Pepo, maafkan aku!”, ucap Agus spontan, khas seorang militer, tanpa basa-basi.
“Kamu tidak salah apa-apa, Nak”, jawab Pepo menenangkan.
Bayangan Agus membubung tinggi ke masa-masa terakhir ia masih bertugas sebagai komandan batalyon.
“Aku sudah melakukan apa yang Pepo perintahkan, aku sudah ikuti arahan orang-orang kepercayaan Pepo, sudah semua Pepo, tapi kenapa orang-orang nggak mau ngerti, mereka memuji, mereka mendukung, tapi hatinya berkata lain?”